Monday, October 19, 2009

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

APLIKASI MODEL THINK-PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPLAN PROSES DAN HASIL BELAJAR KONSEP LISTRIK STATIS SISWA KELAS III SMP 7 TARAKAN


Oleh
AMAT, S.Pd.,M.Pd
NIRD. 1126067001


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2003

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan siswa kelas IXA SMP 7 Tarakan untuk mempelajari suatu konsep melalui suatu proses masih banyak mengalami kendala. Kebanyakan siswa hanya mempelajari sisi kognitifnya saja tanpa mempelajari secara khusus mengapa suatu konsep tersebut terbentuk. Menurut guru mitra selaku guru yang selama ini menangani kelas tersebut menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan penanaman keterampilan proses dalam belajar belum mendapatkan porsi yang memadai. Menurut guru mitra dan informasi awal yang disampaikan siswa mereka cenderung konsentrasi pada hasil belajar dan penguasaan konsep saja karena memang itu yang diinginkan dalam ujian nasional, sedangkan kegiatan belajar yang mengarah pada penguasaan keteramplan proses belum dilakukan secara optimal.
Siswa kelas IXA SMP 7 Tarakan sebagai subyek dalam proses belajar mengajar ternyata memiliki keunikan yang berbeda-beda antara siswa satu dengan siswa lainnya. Ada siswa yang cepat dalam belajar karena kecerdasannya sehingga dia dapat menyelesaikan kegiatan belajar mengajar lebih cepat dari yang diperkirakan, ada siswa yang agak lambat dalam belajar dimana siswa golongan ini sering ketinggalan pelajaran dan memerlukan waktu lebih lama dari waktu yang diperkirakan untuk siswa normal, ada siswa yang kreatif yang menunjukkan kreatifitas dalam kegiatan-kegiatan tertentu dan selalu ingin memecahkan persoalan-persoalan. Secara umum hasil belajar di kelas IXA ini tergolong tinggi. Rata-rata rapor siswa kelas IXA sewaktu masih berada di kelas VIII semester pertama dan kedua di atas nilai 80, untuk semester pertama memiliki rata-rata 82,4 dan semester kedua mencapai 86,9 (lihat lampiran 3).
Pengamatan awal telah dilakukan untuk melihat dan menginvestigasi secara dini keadaan pembelajaran pada siswa kelas IXA SMP 7 Tarakan. Informasi yang diperoleh adalah bahwa siswa di kelas IXA tersebut adalah siswa yang pintar-pintar dan tergolong kelas favorit, namun ada beberapa hal yang kelihatannya perlu dilakukan demi meningkatkan sikap, cara dan hasil belajar mereka. Siswa di kelas tersebut cukup kreatif dan mandiri namun belum terbiasa dengan cara belajar menggunakan keterampilan proses, selain itu juga kebiasaan berpikir mereka adalah dilakukan secara individual padahal kelihatannya jika dilakukan secara berkelompok hasil belajarnya diperkirakan akan meningkat.
Jumlah media belajar yang dibutuhkan untuk kegiatan keterampilan proses khususnya yang berhubungan dengan kegiatan percobaan masih belum memadai, sehingga setiap akan melakukan kegiatan guru harus mencari dan mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Begitu pula halnya dengan ruangan laboratorium yang jumlahnya terbatas sementara hampir semua kelas membutuhkan untuk kegiatan praktik. Akhrnya, guru mitra lebih sering melaksanakan pembelajaran di dalam kelas dengan mengedepankan demonstrasi agar siswa juga tidak terlalu tertinggal dalam hal melaksanakan percobaan. Kendala ruangan dan media belajar tersebut telah diatasi dengan cara mengatur jadual laboratorium secara cermat dan adil serta media belajar dipakai secara bergiliran.
Model pembelajaran yang dilakukan di kelas IXA ini kebanyakan menggunakan model pembelajaran langsung (Direct Instruction). Guru mitra kebanyakan melaksanakan model belajar tersebut mengingat banyaknya kendala menggunakan model yang lain dan tingginya tuntutan atau target dari sekolah dan masyarakat agar siswanya berhasil dalam menghadapi ujian nasional. Peneliti dan guru mitra serta beberapa rekan yang melaksanakan lesson study memikirkan dan mendiskusikan beberapa alternatif model belajar yang memungkinkan untuk merubah kondisi pembelajaran yang selama ini dilakukan. Materi yang dipilih adalah listrik statis dimana materi ini banyak memuat konsep-konsep yang harus dipraktikkan dan harus dipikirkan secara serius. Kendala yang utama menurut guru mitra adalah siswa kurang serius dalam memikirkan suatu konsep apalagi jika dilakukan secara individual, sehingga berdasarkan informasi tersebut peneliti dan guru mitra menginventarisir model kooperatif yang memunginkan untuk mendukung pencapaian keteramplan proses dan hasil belajar siswa.
Peneliti dan guru mitra telah memilah dan akhirnya memilih model yang sesuai untuk pendekatan tersebut yaitu memilih model think-pair share. Alasan memilih model tersebut adalah karena selain mengarahkan siswa selalu berpikir secara kreatif dan terus menerus serta ilmiah, model ini juga membiasakan siswa untuk berpikir, bekerja dan belajar secara kolaboratif. Penelitian ini akhirnya memanfaatkan model belajar ”think-pair share” untuk meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar siswa pada konsep listrik statis.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian tindakan kelas ini adalah :
1. Bagaimanakah aplikasi model belajar ”think-pair share” dalam meningkatkan keterampilan proses konsep listrik statis ?
2. Bagaimanakah aplikasi model belajar ”think-pair share” dalam meningkatkan hasil belajar konsep listrik statis ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah :
1. memperoleh informasi tentang pengaplikasian model ”think-pair share” dalam meningkatkan keteampilan proses konsep listrik statis siswa Kelas IXA semester 1 di SMP Negeri 7 Tarakan
2. memperoleh informasi tentang pengaplikasian model ”think-pair share” dalam meningkatkan hasil belajar konsep listrik statis siswa Kelas IXA semester 1 di SMP 7 Tarakan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian tindakan kelas ini adalah :
1. bagi guru, diharapkan dapat membantu menjelaskan konsep arus listrik yang kebanyakan bersifat abstrak menjadi lebih mudah dikuasai siswa karena siswa terlibat langsung dalam proses pembelajarannya
2. bagi sekolah, diharapkan membantu meningkatkan kualitas hasil belajar mata pelajaran IPA terutama dalam menghadapi ujian akhir sekolah
3. bagi pengembang pendidikan dan penelitian, diharapkan dapat menambah jumlah informasi yang dapat diungkap dari konsep fisika yang diajarkan
E. Definisi Operasional
1. Pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran IPA fisika konsep listrik statis adalah pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar IPA-Fisika dengan penekanan pengembangan keterampilan peserta didik pada konsep listrik statis sehingga siswa dapat menemukan fakta dan konsep.
2. Hasil belajar konsep arus listrik adalah nilai yang diperoleh siswa karena belajar konsep arus listrik dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses IPA.
3. Model belajar “think-pair share” adalah model belajar yang diterapkan dengan langkah-langkah terstruktur untuk meningatkan kemampuan siswa berbagi dalam memikirkan suatu informasi belajar yang diperoleh.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keterampilan Proses
Mengajar sebenarnya merupakan serangkaian peristiwa yang dirancang oleh guru dalam memberikan dorongan kepada siswa belajar. Belajar bersifat individual dan sebagai pendorong setiap siswa memperoleh pengaruh dari luar dalam proses belajar dengan kadar yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Oleh karena itu hasil belajarpun selalu berbeda-beda. Meskipun pengaruh pengajaran yang diterima bersifat individual tetapi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan secara kelompok (klasikal), namun guru tetap dituntut bagaimana siswa dapat belajar secara optimal sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing siswa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memaksa dunia pendidikan untuk meninggalkan cara belajar yang tradisional. Begitu pula cara mengajar yang konvensional. Proses belajar DDCH (Duduk, Dengar, Catat, dan Hafal) dinilai tidak efektif dan efisien untuk membina siswa menjadi manusia kreatif dan inovatif. Belajar yang optimal dapat dicapai bila siswa yang aktif dibimbingan oleh guru yang aktif pula. Salah satu cara mengaktifkan siswa belajar adalah dengan menggunakan konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif – Student Active Learning).
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) pada hakekatnya merupakan suatu konsep dalam mengembangkan keaktifan proses belajar mengajar baik dilakukan oleh guru maupun siswa . Jadi dalam CBSA tampak jelas adanya guru aktif mengajar disatu pihak, dan siswa aktif belajar di lain pihak. Konsep ini bersumber dari teori kurikulum yang berpusat pada anak (Child Centered Curriculum). Penerapannya berlandaskan kepada teori belajar yang menekankan pentingnya belajar melalui proses mengalami untuk memperoleh pemahaman atau insight (teori gestalt). (Muhamad Ali, 1983 :68). Dengan perkataan lain, keaktifan dalam CBSA mengarah keaktifan mental, meskipun untuk mencapai ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam berbagai hal atau bentuk keaktifan fisik. (Raka Joni, 1980 : 20).
Pendekatan pengajaran yang mempunyai kadar CBSA tinggi dalam pengajaran IPA adalah pendekatan keterampilan proses, pendekatan ini merupakan penyempurnaan dari pendekatan faktual dan pendekatan konsep. Pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan belajar mengajar yang mengarah kepada pengembangan kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa. Pendekatan keterampilan proses sebagai pendekatan yang menekankan pada pertumbuhan dan pengembangan sejumlah keterampilan tertentu pada diri peserta didik agar mereka mampu memproses informasi sehingga ditemukan hal-hal yang baru yang bermanfaat baik berupa fakta, konsep, maupun pengembangan sikap dan nilai. (Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, 2000 : 77-78).
Selain itu, belajar-mengajar juga dipandang sebagai suatu proses yang harus dialami oleh setiap peserta didik atau siswa. Belajar mengajar tidak hanya menekankan kepada apa yang dipelajari, tetapi juga menekankan bagaimana ia harus belajar. Para guru dapat menumbuhkan dan mengembangkan potensi, kemampuan dan keterampilan-keterampilan peserta didik sesuai dengan taraf perkembangan pemikirannya.
Pendekatan belajar proses (pendekatan keterampilan proses) ini sesuai dengan sifat pendekatan inkuiri, karena memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu : a) mendambakan aktivitas siswa untuk memperoleh informasi dari berbagai sumber (misalnya dari observasi, eksperimen dan sebagainya); b) guru tidak dominan melainkan selaku organisator dan fasilitator. Pendekatan ini disebut pendekatan proses karena memiliki ciri-ciri khusus yang berkenaan dengan proses pengolahan informasi yaitu 1) ilmu pengetahuan tidak dipandang sebagai produk semata, tetapi dan terutama sebagai proses; 2) anak didik dilatih untuk terampil dalam memperoleh dan memproses informasi dalam pikirannya sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Misalnya terampil dalam observasi termasuk pengukuran (panjang, lebar, waktu, ruang, berat) keterampilan mengklasifikasi termasuk membedakannya berdasarkan berbagai aspek (bentuk, warna, berat dan sebagainya). Siswa juga dilatih untuk membuat hipotesis dan mengujinya melalui eksperimen. (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis, 1992:38).
Pengembangan keterampilan-keterampilan proses pada peserta didik akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Dengan demikian, keterampilan-keterampilan itu menjadi roda penggerak penemuan dan pengembangan sikap dan nilai. Seluruh irama gerak atau tindakan dalam proses belajar mengajar seperti ini akan menciptakan kondisi cara belajar siswa aktif. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan pendekatan proses. (Conny Semiawan dkk, 1985 :18). `
Dengan demikian, pendekatan keterampilan proses merupakan kegiatan belajar mengajar dengan penekanan pengembangan keterampilan peserta didik dalam memproses informasi sehingga ditemukan hal-hal yang baru dan bermanfaat baik berupa fakta, konsep, sikap dan nilai. Kerangka berpikir dalam pendekatan keterampilan proses adalah bahwa fisika dan biologi itu terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah yang juga harus dikembangkan oleh peserta didik sebagai pengalaman yang bermakna yang menjadi bekal perkembangan diri selanjutnya. Tujuan belajar dari pendekatan keterampilan proses adalah memperoleh pengetahuan suatu cara untuk melatih kemampuan-kemampuan intelektualnya dan merangsanag keingintahuan serta dapat memotivasi kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan yang baru diperolehnya. (Lambang Subagiyo, 2002:1).
Conny Semiawan dkk, merinci alasan yang melandasi perlunya diterapkan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari :
1. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan konsep kepada siswa.Untuk mengatasi hal tersebut, siswa diberi bekal keterampilan proses yang dapat mereka gunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan tanpa tergantung dari guru.
2. Para ahli psikolog umumnya sependapat bahwa anak-anak mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkrit, contoh-contoh yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan mempraktekkan sendiri upaya penemuan konsep melalui perlakuan terhadap kenyataan fisik, melalui penanganan benda-benda yang benar-benar nyata.Tugas guru bukanlah memberikan pengetahuan, melainkan menyiapkan situasi menggiring anak untuk bertanya, mengamati, mengadakan eksperimen, serta menemukan fakta dan konsep sendiri.
3. Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak benar seratus persen, penemuannya bersifat relatif. Suatu teori mungkin terbantah dan ditolak setelah orang mendapatkan data baru yang mampu membuktikan kekeliruan teori yang dianut. Muncul lagi, teori baru yang prinsipnya mengandung kebenaran yang relatif. Jika kita hendak menanamkan sikap ilmiah pada diri anak, maka anak perlu dilatih untuk selalu bertanya, berpikir kritis, dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah. Dengan perkataan lain anak perlu dibina berpikir dan bertindak kreatif.
4. Dalam proses belajar mengajar seyogyanya pengembangan konsep tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak anak didik. Konsep disatu pihak serta sikap dan nilai di lain pihak harus disatu kaitkan. (Conny Semiawan dkk, 1985 : 15-16)
Pengembangan pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu upaya yang penting untuk memperoleh keberhasilan belajar yang optimal. Materi pelajaran akan lebih mudah dikuasai dan dihayati oleh siswa bila siswa sendiri mengalami peristiwa belajar tersebut. Selain itu, tujuan pendekatan proses ini adalah :
1. Memberikan motivasi belajar kepada siswa karena dalam keterampilan proses ini siswa dipacu untuk senantiasa berpartisipasi secara aktif dalam belajar.
2. Untuk lebih memperdalam konsep, pengertian, dan fakta yang dipelajari siswa karena hakikatnya siswa sendirilah yang mencari fakta dan menemukan konsep tersebut
3. Untuk mengembangkan pengetahuan teori dengan kenyataan hidup dimasyarakat sehingga antara teori dengan kenyataan hidup akan serasi.
4. Sebagai persiapan dan latihan dalam menghadapi kenyataan hidup di dalam masyarakat sebab siswa telah dilatih untuk berpikir logis dalam memecahkan masalah
5. Mengembangkan sikap percaya diri, bertanggung jawab dan rasa kesetiakawanan sosial dalam menghadapi berbagai problem kehidupan. (Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, 2000 : 78).
Kemudian Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati mengemukakan kemampuan yang dikembangkan dalam keterampilan proses yang antara lain :
1. Pengamatan, yaitu keterampilan mengumpulkan data atau informasi melalui penerapan indera
2. Menggolongkan (mengklasifikasikan), yaitu keterampilan menggolongkan benda, kenyataan, konsep, nilai atau kepentingan tertentu. Untuk membuat penggolongan perlu ditinjau persamaan dan perbedaan antara benda, kenyataan, konsep sebagai dasar penggolongan
3. Menafsirkan (menginterpretasikan), yaitu keterampilan menafsirkan sesuatu berupa benda, kenyataan, peristiwa, konsep dan informasi yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, penghitungan, penelitian atau eksperimen.
4. Meramalkan, yaitu mengantisipasi atau menyimpulkan suatu hal yang akan terjadi pada waktu yang akan datang berdasarkan perkiraan atas kecenderungan, pola tertentu, hubungan antar data, atau informasi. Misalnya, berdasarkan pengalaman tentang keadaan cuaca sebelumnya, siswa dapat meramalkan keadaan cuaca yang akan terjadi.
5. Menerapkan (aplikasi) yaitu menggunakan hasil belajar berupa informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori dan keterampilan. Melalui penerapan hasil belajar dapat dimanfaatkan, diperkuat, dikembangkan atau dihayati.
6. Merencanakan penelitian, yaitu keterampilan yang amat penting karena menentukan berhasil tidaknya melakukan penelitian. Keterampilan ini perlu dilatih karena selama ini pada umumnya kurang diperhatikan dan kurang terbina.
7. Mengkomunikasikan, yaitu keterampilan menyampaikan perolehan atau hasil belajar kepada orang lain dalam bentuk tulisan, gambar, gerak, tindakan, atau penampilan. (Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, 2000 : 79).
Sementara itu Hendro Darmodjo dan Jenny RE. Kaligis merinci keterampilan-keterampilan proses dalam pendidikan IPA itu meliputi :
1. Keterampilan mengobservasi, yang meliputi kemampuan untuk dapat “membedakan”, “menghitung” dan “mengukur” termasuk mengukur suhu, panjang, luas, berat dan waktu.
2. Keterampilan mengklasifikasi, yang meliputi menggolong-golongkan atas dasar aspek-aspek tertentu, serta kombinasi antara menggolongkan dengan mengurutkan.
3. Keterampilan menginterpretasi, termasuk menginterpretasi data, grafik, maupun mencari pola hubungan yang terdapat dalam pengolahan data.
4. Keterampilan memprediksi, termasuk membuat ramalan atas kecenderungan yang terdapat dalam pengolahan data
5. Keterampilan membuat hipotesis, meliputi kemampuan berpikir deduktif dengan menggunakan konsep-konsep, teori-teori maupun hukum-hukum IPA yang telah dikenal.
6. Keterampilan mengendalikan variabel, yaitu upaya mengisolasi variabel yang tidak diteliti sehingga adanya perbedaan pada hasil eksperimen adalah dari variabel yang diteliti.
7. Keterampilan merencanakan dan melakukan penelitian, eksperimen yang meliputi penetapan masalah, membuat hipotesis, menguji hipotesis
8. Keterampilan menyimpulkan atau inferensi, yaitu kemampuan menarik kesimpulan dari pengolahan data
9. Keterampilan menerapkan atau aplikasi, atau menggunakan konsep atau hasil penelitian ke dalam perikehidupan dalam masyarakat
10. Keterampilan mengkomunikasikan, yaitu kemampuan siswa untuk dapat mengkomunikasikan pengetahuannya, hasil pengamatan, maupun penelitiannya kepada orang lain baik secara lisan maupun secara tertulis. (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis, 1992:52).
B. Pembelajaran IPA-Fisika
IPA adalah merupakan singkatan kata “Ilmu Pengetahuan Alam” yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Natural Science” atau “Science”. Natural artinya alamiah, berhubungan dengan alam atau sangkut paut dengan alam. Science artinya ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan alam (IPA) atau science secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam ini, ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.(Srini M. Iskandar, 1997:2).
Mata Pelajaran Fisika di SLTP merupakan perluasan dan pendalaman IPA di Sekolah Dasar (SD) dan sebagai dasar untuk mempelajari perilaku benda dan energi serta keterkaitan antara konsep dan penerapannya dalam kehidupan nyata. Pembelajaran IPA di SLTP menurut kurikulum 1994 edisi revisi 1999 bertujuan agar siswa dapat:
1. Meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan kebanggaan nasional, dan kebesaran serta kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa,
2. Memahami konsep-konsep IPA dan saling keterkaitannya,
3. Mengembangkan daya penalaran untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari,
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah,
5. Menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia,
6. Memberikan bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.
Mata pelajaran IPA berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, mengembangkan keterampilan, wawasan, dan kesadaran teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari dan prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah serta peningkatan kesadaran terhadap kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mata pelajaran Fisika SLTP, konsep dan sub konsep dipelajari melalui penelitian sederhana, percobaan dan sejumlah kegiatan praktis dengan fokus pada pengembangan keterampilan proses.
Pengertian fisika dapat diambil definisi yang telah ditulis oleh Herbert Druxes, et al, (1986:3) fisika adalah :
1. Pelajaran tentang kejadian dalam alam, yang menungkinkan penelitian dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara matematis, dan berdasarkan peraturan-peraturan umum (Brockhaus 1972);
2. Suatu uraian tertutup tentang semua kejadian fisikalis yang berdasarkan beberapa hukum dasar (Brand/Dahmen 1977);
3. Wu Li, kata dalam bahasa Cina untuk fisika dengan lima arti: struktur energi organik – jalan saya – omong kosong – berpegang pada gambaran tertentu – penerangan (Zukov 1981);
4. Apa yang dikerjakan oleh para ahli fisika (beberapa buku pelajaran baru, misalnya Orear 1973);
5. Suatu teori yang menerangkan gejala-gejala alam sesederhana-sederhananya dan berusaha menemukan hubungan antara kenyataan-kenyataannya. Persyaratan dasar untuk pemecahan persoalannya ialah mengamati gejala-gejala tersebut (Gerthsen 1958);
6. Teori peramalan alternatif-alternatif yang secara empiris (dengan percobaan) dapat dibeda-bedakan (Wizsacher 1979).
Lebih lanjut Herbert Druxes et al, mengemukakan bahwa fisika menguraikan dan menganalisa struktur dan pristiwa-peristiwa alam, teknik, dan dunia sekeliling kita. Dalam pada itu itu akan ditemukan atauran-aturan atau hukum-hukum dalam alam, yang dapat menerangkan gejala-gejalanya berdasarkan struktur logika antara sebab dan akibat. Dalam pada itu eksperimen atau percobaan merupakan alat bantu yang sangat penting. Struktur ilmiah fisika, dalam pada itu, menyusun atau membentuk pengertian , hubungan antara pengertian, prinsip, dan hukum yang berlaku secara umum. Secara keseluruhan, fisika dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha menguraikan serta menjelaskan hukum alam dan kejadian-kejadian alam dengan gambaran menurut pemikiran manusia. (Herbert Druxes, et al, 1986: 12).
Masalah pelajaran fisika di sekolah-sekolah pendidikan umum oleh Herbert Druxes, et al (1986:27) diuraikan secara singkat :
a) Fisika “tidak disukai” yaitu masih banyak dipertanyakan kegunaan hasil fisika bagi manusia, anggapan fisika sebagai ilmu pengalaman terurai secara murni sehingga hasil dan pernyataannya juga dianggap tidak mempunyai arti dalam gambaran dunia,
b) Fisika itu berat, yaitu adanya pengertian dan model yang hampir tak ada hubungannya dengan dunia kita yang dapat diindera dan diamati. Sebagai contoh, untuk menjelaskan dalam menjelaskan gejala relativitas, orang berbicara tentang pelbagai partikel elementer, yang terdiri atas kuark dan gluon, bahan ini termasuk ke dalam “keluarga-keluarga” tertentu dan mempunyai sifat-sifat yang “khas” dan membuatnya abstrak, tak tampak.
c) Pelajaran fisika tidak “aktual” yaitu pelajaran fisika tidak memuat rencana yang peristiwa-peristiwa fisika yang sedang terjadi . Misalnya dalam surat kabar terdapat berita tentang penyediaan energi dan kekurangannya, tentang energi inti dan tenaga atom, tentang radioaktivitas dan pencemaran CO2 dalam atmosfer., Pelajaran fisika baru aktual bila siswa menyadari bahwa mereka dengan yang dipelajari itu dapat mulai dengan sesuatu dalam pekerjaan dan waktu senggang,
d) Pelajaran fisika itu eksperimental yaitu pelajaran fisika oleh guru harus dibarengi dengan percobaan di depan kelas dan dilaboratorium oleh siswa. Dengan demikian terdapat pemberatan cukup besar bagi pengajar/guru.
C. Pembelajaran Kooperatif
Belajar Kooperatif (Cooperative Learning) memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Pembelajaran Kooperatif mengupayakan seorang peserta didik mampu mengajarkan pada peserta lain. Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan, ia menjadi nara sumber bagi teman yang lain. Pengorganisasian pembelajaran dicirikan siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.
Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif membuat siswa yang bekerja dalam kelompok akan belajar lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang kelasnya dikelola secara tradisional. Kelough & Kelough (1999) mendefinisikan cooperative learning sebagai suatu strategi pembelajaran yang secara berkelompok, siswa belajar bersama dan saling membantu dalam membuat tugas dengan penekanan pada saling support diantara anggota. Pembelajaran bersifat kooperatif, bukan kompetitif. Keberhasilan belajar adalah keberhasilan kelompok.
Menurut teori motivasi, tujuan kooperatif menciptakan suatu situasi dimana keberhasilan adalah mereka tercapai bila siswa lin juga mencapai tujuan tersebut. Beberapa ciri pada pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
Ada lima prinsip mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu:
1. positive interdependence: saling tergantung secara positif, artinya anggota kelompok menyadari bahwa mereka perlu bekerja sama untuk mencapai tujuan.
2. Face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan.
3. Individual accountability: setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok.
4. Use of collabortive/social skills: keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini diperlukan bimbingan guru gar siswa dapat berkolaborasi.
5. Group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja secara efektif.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari pembelajaran kooperatif adalah:
- hasil kerja adalah hasil kelompok
- penghargaan adalah untuk kelompok
- setiap anggota mempunyai peran/tugas yang merupakan bagian dari tugas kelompok.
- saling memberi dorongan/bantuan
- guru memberi feedback untuk kelompok
- semua anggota kelompok bertanggung jawab atas tugas kelompok.
Pembelajaran kooperatif dalam KBM merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif harus memberkan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang bersifat kooperatif. Lebih lanjut dijelaskan pembelajaran kooperatif didasarkan kepada suatu pertimbangan bahwa setiap individu adalah makhluk sosial. Azas kooperatif bertujuan untuk membina aspek sosial anak.
Salah satu ciri utama pembelajaran kooperatif adalah pembentukkan kelompok. Dalam satu kelas, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 atau 5 siswa. Dalam hal ini adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif antara lain:
1. Untuk menuntaskan materi balajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif.
2. Kelompok di bentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
3. Dalam setiap kelompok terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda.
4. Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.
Dibawah ini dikemukkan beberapa cara pembentukkan kelompok dalam pembelajaran kooperatif (Djauzak dkk. 1997) :
1. Pengelompokkan berdasarkan berbagai tingkat kemampuan anak. Artinya tiap-tiap kelompok terdiri dari campuran anak cerdas, cukup, sedang dan kurang.
2. Pengelompokan berdasarkan minat anak.
3. Pengelompokkan berdasarkan pembagian tugas menurut pokok bahasannya
4. Pengelompokkan atas dasar keakraban berteman.
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tujuan, menurut Lambas dkk (2004) ada tiga tujuan penting yang ingin dicapai yaitu:
1. Hasil belajar akademik.
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Model kooperatif unggul membentuk siswa dalam konsep-konsep yang sulit.
2. Penerimaan terhadap keragaman.
Model kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temennya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang. Antara lain suku, agama, kemampuan akademik dan tingkat sosial.
3. Pengembangan keterampilan sosial.
Model kooperatif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan social yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah berbagai tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing tman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, dan belajar dalam kelompok.
Menurut Lambas dkk (2004) langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga akhir terdiri dari enam fase yaitu seperti terlihat dari tabel berikut ini:
Tebel 2.1. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase Indikator Aktivitas/Kegiatan Guru
1 Menyampaikan tujuan dan memotifasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotifasi siswa belajar.
2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa bagaimana caranya dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
3 Mengorganisasi siswa dalamkelompok-kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membentuk tiap kelompok belajar dan membantu tiap-tiap kelompok gar melaksanakan kegiatan secara efisien.
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kolompok mempresentasikan hasil belajarnya.
6 Memberi penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok.
Dari uraian diatas dalam model pembelajaran kooperatif tampak bahwa proses demokrasi dan peran aktif siswa di kelas sangat menonjol. Dengan demikian siswa akan melibatkan seluruh jiwa raga mengikuti pembelajaran, maka hasil belajar yang diperlihatkan siswa akan optimal.
D. Model Belajar ”Think-Pair Share”
Model belajar “think-pair share” merupakan salah satu bagian dari model pembelajaran koperatif. Pada model ini dikembangkan kerja sama antar siswa dalam proses berpikir. Kebiasaan berpikir yang selama ini dilakukan secara individual dihadapi oleh model ini menjadi kegiatan berpikir yang sinergis dan saling membantu. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan model kooperatif ini dalam memecahkan dan memikirkan konsep-konsep fisika yang tergolong abstrak.
Belajar merupakan suatu proses untuk memperoleh suatu informasi dan pengetahuan yang dapat merubah pola pikir dan perilaku individu yang belajar tersebut. Untuk mempelajari sesuatu informasi setiap individu memiliki perbedaan dalam penafsiran tentang informasi yang diperolehnya tersebut. Begitu pula halnya dengan siswa yang ada di sekolah banyak yang belum mampu menafsirkan sendiri informasi yang ada dalam pembelajaran yang berlangsung di kelas. Untuk itulah kerja sama dalam memikirkan suatu informasi belajar perlu dibangun dengan melibatkan teman-teman terdekat siswa itu sendiri, misalnya dengan teman semejanya.
Model belajar dilaksanakan sesuai langkah-langkah yang terstruktur sehingga tujuan belajar yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Menurut Frank Lyman (1985), sintaks atau langkah-langkah pelaksanaan model belajar think-pair share adalah :
1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
2. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
3. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
5. Berawal dari kegiatan tersebut mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa
6. Guru memberi kesimpulan
7. Penutup
E. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar sering disebut juga prestasi belajar. Kata prestasi berasal dari Bahasa Belanda prestatie, kemudian di dalam bahasa Indonesia disebut prestasi, diartikan sebagai hasil usaha. Prestasi banyak digunakan di dalam berbagai bidang dan diberi pengertian sebagai kemampuan, keterampilan, sikap seseorang dalam menyelesaikan sesuatu. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, “prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, atau diciptakan secara individu maupun secara kelompok”. Pendapat ini berarti prestasi tidak akan pernah dihasilkan apabila seseorang tidak melakukan kegiatan. Hasil belajar atau prestasi belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Oleh karena itu prestasi belajar bukan ukuran, tetapi dapat diukur setelah melakukan kegiatan belajar. Keberhasilan seseorang dalam mengikuti program pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar seseorang tersebut.
Menurut Gagne, “prestasi belajar dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kategori yaitu : 1) keterampilan intelektual, 2) informasi verbal, 3) strategi kognitif, 4) keterampilan motorik, dan 5) sikap”. Pendapat ini diartikan : Pertama, keterampilan intelektual (intellectual skills). Belajar keterampilan intelektual berarti belajar bagaimana melakukan sesuatu secara intelektual. Ada enam jenis keterampilan intelektual, : (1) diskriminasi-diskriminasi, yaitu kemampuan membuat respons yang berbeda terhadap stimulus yang berbeda pula; (2) konsep-konsep konkret, yaitu kemampuan mengidentifikasi ciri-ciri atau atribut-atribut suatu objek; (3) konsep-konsep terdefinisi, yaitu kemampuan memberikan makna terhadap sekelompok objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan; (4) aturan-aturan, yaitu kemampuan merespons hubungan-hubungan antara objek-objek dan kejadian-kejadian; (5) aturan tingkat tinggi, yaitu kemampuan merespons hubungan-hubungan antara objek-objek dan kejadian-kejadian secara lebih kompleks; (6) memecahkan masalah, yaitu kemampuan memecahkan masalah yang biasanya melibatkan aturan-aturan tingkat tinggi. Kedua, strategi-strategi kognitif (cognitive strategies). Strategistrategi ini merupakan kemampuan yang mengarahkan prilaku belajar, mengingat, dan berpikir seseorang. Ada lima jenis strategi-strategi kognitif : (1) strategi-strategi menghafal, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara menghafal ide-ide dari sebuah teks; (2) strategi –strategi elaborasi, yaitu strategi belajar dengan cara mengaitkan materi yang dipelajari dengan materi lain yang relevan; (3) strategi-strategi pengaturan, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara mengelompokkan konsep-konsep agar menjadi kategori-kategori yang bermakna; (4) strategi-strategi pemantauan pemahaman, yaitu strategis belajar yang dilakukan dengan cara memantau proses-proses belajar yang sedang dilakukan; (5) strategi –strategi afektif, yaitu strategi belajar yang dilakukan dengan cara memusatkan dan mempertahankan perhatian. Ketiga, informasi verbal (verbal information). Belajar informasi verbal adalah belajar untuk mengetahui apa yang dipelajari baik yang berbentuk nama nama objek, fakta-fakta, maupun pengetahuan yang telah disusun dengan baik. Keempat, keterampilan motor (motor skills). Kemahiran ini merupakan kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan mekanisme otot yang dimiliki. Kelima, sikap (attitudes). Sikap merupakan kemampuan mereaksi secara positif atau negatif terhadap orang, sesuatu, dan situasi. Prestasi belajar Gagne di atas hampir sejalan dengan pemikiran Bloom. Menurut Bloom, “prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kawasan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik”.
Menurut pendapat ini aspek kognitif berkaitan dengan perilaku berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Ada enam tingkatan aspek kognitif yang bergerak dari yang sederhana sampai yang kompleks: (1) pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan mengingat materi pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya; (2) pemahaman (comprehension,, understanding), seperti menafsirkan, menjelaskan, atau meringkas; (3) penerapan (application), yaitu kemampuan menafsirkan atau menggunakan materi pelajaran yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau konkret; (4) analisis (analysis), yaitu kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga susunannya dapat dimengerti; (5) sintesis (synthesis), yaitu kemampuan menghimpun bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan; (6) evaluasi (evaluation), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membuat penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu.
Aspek afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, interes, apresiasi, dan menyesuaian perasaan sosial. Aspek ini mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana ke yang kompleks : (1) penerimaan (receiving), merupakan kepekaan menerima rangsangan (stimulus) baik berupa situasi maupun gejala; (2) penanggapan (responding), berkaitan dengan reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang; (3) penilaian (valuing), berkaitan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang datang; (4) organisasi (organization), yaitu penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda berdasarkan suatu sistem nilai tertentu yang lebih tinggi; (5) karakteristik nilai (characterization by a value complex), merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Aspek psikomotor berkaitan dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik.
Aspek ini meliputi : (1) persepsi (perception), berkaitan dengan penggunaan indra dalam melakukan kegiatan; (2) kesiapan melakukan pekerjaan (set), berkaitan dengan kesiapan melakukan suatu kegiatan baik secara mental, fisik, maupun emosional; (3) mekanisme (mechanism), berkaitan dengan penampilan respons yang sudah dipelajari; (4) respon terbimbing (guided respons), yaitu mengikuti atau mengulangi perbuatan yang diperintahkan oleh orang lain; (5) kemahiran (complex overt respons), berkaitan dengan gerakan motorik yang terampil; (6) adaptasi (adaptation), berkaitan dengan keterampilan yang sudah berkembang di dalam diri individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pola gerakannya; (7) keaslian (origination), merupakan kemampuan menciptakan pola gerakan baru sesuai dengan situasi yang dihadapi. Menurut Syaefudin Azwar, “prestasi belajar adalah performa maksimal seseorang dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan atau telah dipelajari”.
Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas hasil belajar atau yang sering disebut prestasi belajar diartikan suatu hasil usaha secara maksimal bagi seseorang dalam menguasai bahan bahan yang dipelajari atau kegiatan yang dilakukan.
F. Kerangka Berpikir
1. Keterkaitan Model Belajar ’think-pair share” dengan Penguasaan Keterampilan Proses
Model belajar think-pair share dilaksanakan berdasarkan pendekatan pembelajaran kooperatif dimana interkasi siswa dengan siswa tidak dapat diabaikan begitu saja. Kerja sama untuk memperoleh informasi dan hasil belajar yang optimal menjadi tujuan model belajar ini. Keterampilan proses juga memiliki tujuan yang sama yaitu memperoleh informasi dan hasil belajar yang memadai. Keterampilan proses biasanya jarang sekali dilaksanakan oleh guru di sekolah karena selain membutuhkan waktu yang banyak untuk mengajarkannya juga disebabkan banyaknya langkah dan media yang dibutuhkan untuk mewujudkannya, padahal ada juga konsep fisika yang sederhana dan bisa disiapkan lebih mudah.
Model think-pair share ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan kreatifitas siswa dalam memikirkan sesuatu informasi belajar namun tidak dilaksanakn secara individual, melainkan dilakukan secara kooperatif sehingga keterampilan proses belajar yang muncul diharapkan adalah keterampilan proses yang mampu mengakomodir dan membantu mengatasi kelemahan siswa lain yang belum maksimal.
Keterampilan proses yang ingin dimaksimalkan menggunakan model “think-pair share” ini memiliki indicator sebagai berikut :
1. Siswa mampu meningkatkan kemampuan memperhatikan proses belajar.
2. Siswa mampu mengiterpretasikan (menafsirkan) informasi belajar dari guru yang berhubungan konsep listrik statis
3. Siswa mampu memprediksi (meramalkan) informasi tentangakejadian pada listrik statis berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru.
4. Siswa mampu merencaakan penelitian sederhana konsep listrik statis.
5. Siswa mampu melaksanakan penelitian sederhana konsep listrik statis.
6. Siswa mampu melakukan inferensi (menyimpulkan ) informasi belajar dan penelitian tentang listrik statis.
7. Siswa mampu mengaplikasikan (menerapkan) informasi tentang listrik statis dalam kehidupan sehari-hari.
8. Siswa mampu mengkomunikasikan informasi tentang listrik statis dengan guru dan rekan-rekannya.
2. Keterkaitan Model Belajar “think-pair share” dengan Hasil Belajar Siswa
Model belajar think-pair share membiasakan siswa untuk selalu bepikir dan terus berpikir. Semua informasi yan diperoleh oleh siswa haruslah dipikirkan dan dicarikan solusinya secara cermat, cepat dan sistematis. Kebiasaan seperti ini diharapkan dapat membantu memotivasi siswa untuk meningkatkan kapasitas belajar dan kemampuan berpikirnya. Siswa yang rajin belajar belum tentu berhasil jika informasi belajar yang diperolehnya baik melalui membaca, mendengar dan kegiatan lainnya tidak segera dipikirkannya. Begitu banyak siswa yang membaca, namun begitu banyak pula yang tidak mengerti informasi yang dibacanya tersebut. Kegiatan belajar yang membiasakan siswa untuk terus berpikir inilah yang diharapkan dapat membantu meningkatkan hasil belajar mereka.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah pendekatan kualitatif yang menjelaskan segala sesuatu yang terjadi dalam proses pembelajaran, baik kondisi awal pembelajaran maupun kondisi yang terjadi setelah dilakukan tindakan pada penelitian tersebut. Model penelitian yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart. Model Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan Kurt lewin yang langkahnya terdiri dari (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). hanya saja komponen acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama Komponen itu dipandang sebagai satu siklus.
B. Kehadiran dan Peran Peneliti
Kehadiran peneliti di dalam kelas sesuai dengan jadual mengajar. Jumlah jam mengajar di kelas IXA adalah 2 jam pelajaran per minggu. Ada 3 pertemuan yang dirancang untuk menyelesaikan penelitian tindakan kelas ini. Peneliti sekaligus bertindak selaku guru model di dalam pembelajaran. Peneliti dibantu oleh satu orang guru mitra yang kelasnya digunakan dan 3 orang observer yang terdiri dari 2 orang rekan guru dan 1 orang dosen lesson study. Rekan guru dan dosen lesson study membantu merekam dan mencatat semua yang terjadi dalam pembelajaran pada instrumen yang telah disiapkan.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 7 Tarakan yang terletak di Jalan Diponegoro, Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan Kalimantan Timur.
D. Subjek Penelitian
Kelas yang digunakan sebagai subjek penelitian adalah kelas IXA tahun ajaran 2006/2007. Jumlah siswa yang dijadikan subyek penelitian ini adalah 40 siswa. Karakteristik siswa kebanyakan siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik (lihat lampiran 3). Menurut informasi guru mitra siswa kelas IXA ini dipilih dari siswa yang di kelas sebelumnya memiliki prestasi dan keunggulan pada beberapa bidang, misalnya ada siswa yang berprestasi di bidang sain, komputer, seni dan prestasi lainnya. Keunggulan akademik sudah tentu menjadi pertimbangan utama. Selain itu menurut guru mitra bahwa siswa di kelas IXA ini masih sering bekerja secara individu dan agak sulit untuk bekerja bersama dalam satu kelompok.
E. Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua yaitu : 1) data penguasaan keterampilan proses dan 2) data hasil belajar. Selain itu juga data kualitatif berupa catatan lesson study dan respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di depan kelas.



Tabel 3.1 Data dan Sumber Data Penelitian
Siklus Model TPS Data Yang Dikumpulkan Sumber Data
% Penguasaan Keterampilan proses Hasil Belajar





I Ketr. Proses dengan model ”think-pair share” :
a. Pertemuan I : Model 1  2 - Diskusi Kelas
b. Pertemuan II : Model 2  4  Diskusi Kelas Data dikumpulkan berdasarkan observasi menggunakan instrumen observasi, yaitu :
a. Data Hasil Observasi I
b. Data Hasil Observasi II
Data dikumpulkan berdasarkan tes hasil belajar setelah KBM berakhir yaitu:
a. Hasil Tes I
b. Hasil Tes II



Siswa



II Ketr. Proses dengan model ”think-pair share” :
c. Pertemuan III : Model 4  Diskusi Kelas
Data dikumpulkan berdasarkan observasi menggunakan instrumen observasi, yaitu :
c. Data Hasil Observasi II
Data dikumpulkan berdasarkan tes hasil belajar setelah KBM berakhir yaitu:
c.Hasil Tes III




Siswa
F. Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpulan Data (Instrumen)
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah : 1) lembar observasi indikator keterampilan proses, 2) lembar observasi keterlaksanaan proses pembelajaran, 3) tes hasil belajar konsep listrik statis, 4) kuesioner respon siswa tehadap proses pembelajaran dan 5) catatan lapangan lesson study
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau metode pengumpulan data penelitian tindakan kelas ini adalah :
1) observasi :
a. Kegiatan observasi keterampilan proses dilakukan untuk melihat seberapa jauh indikator keterampilan proses yang muncul dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Ada 8 indikator yang harus diamati oleh observer yakni :
1. Siswa mampu meningkatkan kemampuan memperhatikan proses belajar.
2. Siswa mampu mengiterpretasikan (menafsirkan) informasi belajar dari guru yang berhubungan konsep listrik statis
3. Siswa mampu memprediksi (meramalkan) informasi tentangakejadian pada listrik statis berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru.
4. Siswa mampu merencaakan penelitian sederhana konsep listrik statis.
5. Siswa mampu melaksanakan penelitian sederhana konsep listrik statis.
6. Siswa mampu melakukan inferensi (menyimpulkan ) informasi belajar dan penelitian tentang listrik statis.
7. Siswa mampu mengaplikasikan (menerapkan) informasi tentang listrik statis dalam kehidupan sehari-hari.
8. Siswa mampu mengkomunikasikan informasi tentang listrik statis dengan guru dan rekan-rekannya.
b. Kegiatan observasi keterlaksanaan proses pembelajaran dilakukan untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh kesesuaian antara perencanaan yang dilakukan guru sebelum mengajar dengan keterlaksanaan di dalam kelas serta perubahan yang muncul selama proses pembelajaran. Hal ini akan menunjukkan kuaitas pembelajaran guru di kelas.
2) Tes Hasil Belajar : Tes ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan siswa menyerap materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Tes hasil belajar dilakukan setelah selesai satu kali pertemuan pembelajaran. Bentuk soal yang diberikan adalah soal uraian yang jumlahnya tidak terlalu banyak karena harus menyesuaikan dengan jumlah jam pelajaran yang disediakan. Materi yang diujikan adalah : a. Konsep atom dan konduktor, isolator, b. Gaya elektrostatis dan medan magnet dan c. Muatan listrik pada elektroskop. Kisi-kisi dapat dilihat pada lampiran.
3) Angket : Angket atau kuesioner diberikan pada siswa setiap selesai satu pertemuan. Hal ini untuk mengetahui respon atau tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru. Ada empat pertanyaan yang diberikan dan siswa diminta mengisi sesuai keadaan belajar yang mereka alami
4) Dokumenasi lesson study : ada dua dokumen yang dilakukan pada kegiatan lesson study yaitu: rekaman film pembelajaran oleh guru dan catatan lapangan. Rekaman film dilakukan oleh kameramen yang berpengalaman dan catatan lesson study dilakukan oleh dosen pembina lesson study dan 2 orang rekan guru serta seorang guru mitra. Film dokumentasi digunakan untuk melihat kembali kejadian-kejadian yang mungkin belum terobservasi selama di kelas atau jika ada sesuatu kegiatan yang terlupa sehingga mudah untuk mengingat dan memperbaikinya, sedangkan catatan lesson study digunakan untuk merefleksikan apakah siswa di kelas tersebut benar-benar sudah belajar.
G. Analisis Data, Evaluasi dan Refleksi
1. Analisis Data
a. Waktu Analisis Data : setiap selesai kegiatan pembelajaran melakukan analisis terhadap indikator keterampilan proses yang terobservasi dan hasil belajar yang telah diperoleh setelah selesai tes. Hasil analisis data inilah yang nantinya akan dievaluasi.
b. Yang Melakukan Analisis : Analisis indikator keterampilan proses dilakukan oleh peneliti dan 2 rekan guru, sedangkan analisis hasil belajar siswa dilakukan oleh peneliti sendiri dengan menghitung tingkat kesukaran soal, daya beda dan daya serap siswa.
c. Teknik yang digunakan adalah data yang diperoleh dihitung persentasenya baik penguasaan keterampilan proses maupun hasil belajarnya, setelah itu menyesuaikan dengan kategori atau kriteria yang ditetapkan. Untuk Hasil belajar harus mengacu pada kriteria ketuntasan minimal kompetensi dasar yang diajarkan. Kriteria ketuntasan minimal konsep listrik statis ini adalah 70. Sedangkan untuk penguasaan keterampilan proses disesuaikan dengan tabel kriteria berikut ini :

Tabel 3.2. Kategori penguasaan keterampilan proses
No RENTANG PERSENTASE KATEGORI
1 0 - 20 Sangat Rendah
2 21 - 40 Rendah
3 41-60 Cukup Tinggi
4 61-80 Tinggi
5 81 - 100 Sangat Tinggi
2. Evaluasi dan Refleksi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keefektifan suatu tindakan yang telah dipilih dan kesesuaian dampak yang diperoleh dengan dampak yang diinginkan oleh peneliti. Jika belum sesuai dengan harapan peneliti maka peneliti bersama dengan observer lainnya dapat melakukan refleksi untuk mengetahui penyebab ketidaksesuaian tersebut dan memikirkan tindakan yang akan digunakan selanjutnya.
Evaluasi pada penelitian ini dilakukan setelah selesai satu pembelajaran. Peneiti menghitung dan mengecek apakah indikator keterampilan proses yang diperoleh telah berada pada kategori atau kriteria yang tinggi. Jika belum maka dipikirkan kembali kemungkinan kekeliruan pada tindakan yang diberikan. Hasil belajar juga dievaluasi apakah sudah berada di atas kriteria ketuntasan minimal kompetensi dasarnya yaitu 70. Jika semua siswa di dalam kelas melampaui kriteria ketuntasan tersebut berarti hasil belajar siswa bagus dan tuntas, jika belum harus dipikrkan dan direfleksikan kembali penyebab terjadi ketidakoptimalan tersebut.

H. Prosedur Penelitian
Penelitian ini didesain dalam siklus-siklus yang harus dilaksanakan agar terpantau ada tidaknya kemajuan dari setiap tindakan yang dilakukan. Untuk permulaan diajukan dua siklus untuk memulai pemberian tindakan, setelah itu dilakukan refleksi untuk memperoleh informasi lanjutan yang akan diperbaiki. Langkah-langkah penelitian digambarkan sebagai berikut :
LANGKAH THINK PAIR SHARE KETRAMPILAN PROSES HASIL BELAJAR

SIKLUS I . 1. MODEL 12DISKUSI KELAS (PERTEMUAN I) % PENGUASAAN NILAI TES
2. MODEL 24DISKUSI KELAS (PERTEMUAN II) % PENGUASAAN NILAI TES

SIKLUS II 3. MODEL 4 DISKUSI KELAS (PERTEMUAN III) % PENGUASAAN NILAI TES
----------------------------- ----------------------
RATA-RATA %PENGUASAAN RATA-RATA NILAI TES
Keterangan :
a. Model 12Diskusi kelas, artinya : Langkah awal guru meminta siswa berpikir sendiri tentang soal atau kasus yang harus dipikirkan kemudian setelah 2 menit meminta siswa untuk melakukan berpikir secara berpasangan (berdua) selama 5 menit. Setelah itu, guru mengajak seluruh siswa berdiskusi dan mengutarakan jawabannya di depan kelas. Siswa lain memberi respon dan akhirnya guru membenarkan informasi yang sesuai lalu memberikan kesimpulan yang belum terungkap.
b. Model 24Diskusi kelas, artinya : Langkah awal guru meminta siswa berpikir berpasangan dengan teman sebangkunya tentang soal atau kasus yang harus dipikirkan kemudian setelah 2 menit meminta siswa untuk melakukan berpikir secara berpasangan yang lebih besar (berempat) selama 5 menit. Setelah itu, guru mengajak seluruh siswa berdiskusi dan mengutarakan jawabannya di depan kelas. Siswa lain memberi respon dan akhirnya guru membenarkan informasi yang sesuai lalu memberikan kesimpulan yang belum terungkap.
c. Model 4Diskusi kelas, artinya : Langkah awal guru meminta siswa berpikir langsung berpasangan dengan teman kelompoknya berempat selama 7 menit. Setelah itu, guru mengajak seluruh siswa berdiskusi dan mengutarakan jawabannya di depan kelas. Siswa lain memberi respon dan akhirnya guru membenarkan informasi yang sesuai lalu memberikan kesimpulan yang belum terungkap.
Siklus Penelitian :
1. Siklus Pertama :
a. Refleksi awal
Peneliti dan guru mitra serta observer mendiskusikan bahwa ada kesulitan dalam mengajarkan konsep listrik statis dengan pendekatan konsep biasa yaitu konsep tersebut sifatnya abstrak sementara siswa sebagian besar belum mampu berpikir secara abstrak, sehingga diperlukan alternatif lain untuk mengajarkannya. Pendekatan yang dipilih adalah keterampilan proses dengan menggunakan ”think-pair share” karena lebih memberikan pengalaman kepada siswa untuk mengaktualisasikan konsep yang diperolehnya serta lebih mendekatkan mereka pada pengalaman yang ada di lingkungannya.
b. Perencanaan (Planning)
Perencanaan penelitian tindakan meliputi 1) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), 2) menyusun instrumen penelitian, 3) mengatur jadual penelitian. Pembelajaran dalam siklus dilaksanakan dengan ketentuan : a) jika siklus pertama tersebut belum maksimal yakni belum melebihi kriteria ketuntasan minimal kompetensi (KKM) sebesar 70, maka penelitian dilanjutkan pada siklus berikutnya dengan mengubah skenario. b) jika indikator keterampilan proses masih banyak yang belum mencapai kriteria tinggi maka penelitian dilanjutkan pada siklus berikutnya
c. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan bersamaan dengan terlaksananya pembelajaran di dalam kelas. Observer mengamati guru mengajar dan kondisi kelas serta siswa. Skema penelitian yang direncanakan dilaksanakan di dalam kelas dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. guru fisika memberikan persepsi awal tentang materi konsep listrik statis sesuai RPP yang telah disusun dengan pendekatan keterampilan proses menggunakan model ”think-pair share”.
2. guru melakukan demonstrasi tentang konsep listrik statis, setelah itu membentuk kelompok kerja siswa untuk melakukan tugas ”think-pair share”
3. siswa melakukan ”think pair share model 12Diskusi kelas dan model 24Diskusi kelas” tentang konsep listrik statis dengan memanfaatkan indikator keterampilan proses.
4. observer mengamati kondisi kelas, kegiatan siswa yang berhubungan dengan indikator keterampilan proses dan proses belajar dengan model belajar yang berlangsung. Kemudian mencatat data pada instrumen penelitian (lembar observasi) yang disediakan
5. observer mengumpulkan semua data hasil pengamatan yang akan di diskusikan pada tahap refleksi.
6. guru melakukan tes hasil belajar konsep listrik statis setelah menyelesaikan satu KBM, sehingga dalam siklus pertama terdapat dua kali tes hasil belajar.
d. Refleksi Hasil Penelitian
Refleksi pembelajaran dilakukan setelah satu KBM selesai dilaksanakan, sehingga perubahan dan perbaikan terhadap RPP dilaksanakan setelah selesai satu tahapan refleksi KBM. Ada dua hal yang direfleksikan dalam penelitian ini, yaitu 1) refleksi setelah selesai satu KBM, dan 2) refleksi setelah selesai satu siklus. Hasil refleksi KBM digunakan untuk memperbaiki RPP yang digunakan dalam pembelajaran, sedangkan hasil refleksi satu siklus digunakan untuk memperbaiki dan mengetahui perubahan akibat tindakan yang digunakan dalam penelitian. Setelah selesai refleksi akan dilanjutkan pada siklus berikutnya jika hasil refleksi pada siklus pertama belum maksimal atau masih menemui kendala-kendala yang memungkinkan untuk diperbaiki.
2. Siklus II :
a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan penelitian tindakan meliputi 1) memperbaiki rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) siklus I, 2) memperbaiki instrumen penelitian siklus I, 3) mengatur kembali jadual penelitian.
b. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan bersamaan dengan terlaksananya pembelajaran di dalam kelas. Observer mengamati guru mengajar dan kondisi kelas serta siswa. Skema penelitian yang direncanakan dilaksanakan di dalam kelas dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. guru fisika memberikan persepsi awal tentang materi konsep listrik statis sesuai RPP yang telah disusun dengan pendekatan keterampilan proses menggunakan model ”think-pair share”.
2. guru melakukan demonstrasi tentang konsep listrik statis, setelah itu membentuk kelompok kerja siswa untuk melakukan tugas ”think-pair share”
3. siswa melakukan ”think pair share model 4 Diskusi kelas” tentang konsep listrik statis dengan memanfaatkan indikator keterampilan proses.
4. observer mengamati kondisi kelas, kegiatan siswa yang berhubungan dengan indikator keterampilan proses dan proses belajar dengan model belajar yang berlangsung. Kemudian mencatat data pada instrumen penelitian (lembar observasi) yang disediakan
5. observer mengumpulkan semua data hasil pengamatan yang akan di diskusikan pada tahap refleksi.
6. guru melakukan tes hasil belajar konsep listrik statis setelah menyelesaikan satu KBM, sehingga siklus kedua terdapat satu kali tes hasil belajar.
c. Refleksi Hasil Penelitian
Refleksi pembelajaran dilakukan setelah satu KBM selesai dilaksanakan, sehingga perubahan dan perbaikan terhadap RPP dilaksanakan setelah selesai satu tahapan refleksi KBM. Ada dua hal yang direfleksikan dalam penelitian ini, yaitu 1) refleksi setelah selesai satu KBM, dan 2) refleksi setelah selesai satu siklus. Hasil refleksi KBM digunakan untuk memperbaiki RPP yang digunakan dalam pembelajaran, sedangkan hasil refleksi satu siklus digunakan untuk memperbaiki dan mengetahui perubahan akibat tindakan yang digunakan dalam penelitian. Setelah selesai refleksi akan dilanjutkan pada siklus berikutnya jika hasil refleksi pada siklus kedua belum maksimal atau masih menemui kendala-kendala yang memungkinkan untuk diperbaiki.










BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
Penelitian ini memperoleh beberapa data hasil penelitian. Ada dua data penelitian yang diperoleh yaitu : 1) data utama, yakni : a) persentase penguasaan keterampilan proses berdasarkan hasil observasi oleh observer selama siswa melakukan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dan b) data hasil belajar siswa yang diperoleh siswa mengikuti tes setiap selesai satu pertemuan, 2) data pendukung, yaitu: a) data yang berasal dari tanggapan siswa melalui angket yang diberikan setelah siswa menyelesaikan satu pertemuan pembelajaran dan b) data yang berasal dari catatan lapangan observer tentang kondisi kelas berdasarkan kegiatan lesson study yang juga dilakukan dalam kegiatan pemantapan kegiatan mengajar. Dua data ini akan saling memantapkan integrasi antara peneltian tindakan kelas ini dengan kegiatan lesson study.
1. Penguasaan Keterampilan Proses
Indikator keterampilan proses yang diobservasi dalam penelitian ini adalah :
1= Mengamati proses belajar mengajar
2= Menafsirkan informasi dari guru
3= Memprediksi suatu peristiwa berdasarkan informasi dari guru
4= Terlibat merencanakan penelitian atau demonstrasi sederhana
5= Terlibat aktif dalam kegiatan penelitian atau demonstrasi sederhana
6= Mampu menyimpulkan informasi belajar
7= Mampu mengaplikasikan konsep dalam kehidupan sehari-hari
8= Mampu mengkomunikasi informasi belajar dengan guru
Ada tiga data penguasaan keterampilan proses yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu :

Tabel 4.1. Data penguasaan keterampilan proses siklus I pertemuan I :
KBM INDIKATOR KETERAMPILAN PROSES Jumlah siswa
1 2 3 4 5 6 7 8
I 35 12 8 34 32 30 14 28 40
87,50% 30% 20% 85% 80% 75% 35% 70% 100,0%
Analisis Keterampilan Proses Pertemuan I :
Pada siklus I pertemuan I ini keterampilan proses yang tampak sangat tinggi dalam pembelajaran adalah : 1) perhatian terhadap proses belajar mengajar (87,50%), 2) keterlibatan merencanakan penelitian atau demonstrasi sederhana (85%). Kemudian yang tergolong tinggi adalah: 1) kemampuan menyimpulkan hasil belajar (75%) 2) kemampuan mengkomunikasikan informasi belajar dengan guru (70%), dan 3) keaktifan melakukan kegiatan penelitian atau demonstrasi sederhana (80%), sedangkan keterampilan proses yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki karena masih termasuk kategori rendah adalah : 1) kemampuan menafsirkan informasi dari guru (30%) dan 2) kemampuan siswa mengaplikasikan konsep dalam kehidupan sehari-hari (35%). Selanjutnya yang perlu diperhatikan secara mendalam karena masih termasuk kategori sangat rendah adalah dan kemampuan memprediksi suatu peristiwa berdasarkan informasi dari guru (20%).
Tabel 4.2. Data penguasaan keterampilan proses siklus I pertemuan II :
KBM INDIKATOR KETERAMPILAN PROSES Jumlah siswa
1 2 3 4 5 6 7 8
II 34 8 5 28 24 22 16 25 40
85% 20% 12,50% 70% 60% 55% 40% 62,50% 100,0%
Analisis Keterampilan Proses Pertemuan II :
Pertemuan II ini masih termasuk dalam siklus I dan jika dibandingkan dengan penguasaan keterampilan proses pada pertemuan I terlihat bahwa hampir semua indikator mengalami penurunan kecuali indikator nomor 7 yaitu kemampuan mengaplikasikan konsep dalam kehidupan sehari-hari yang mengalami sedikit peningkatan (5%), namun masih tergolong rendah. Keterampilan proses yang masih berada dalam kategori sangat tinggi adalah perhatian siswa terhadap proses belajar mengajar (85%). Keterampilan proses yang berada dalam kategori tinggi adalah 1) keterlibatan merencanakan penelitian atau demonstrasi sederhana (70%) dan 2) kemampuan siswa mengkomunikasikan informasi belajar dengan guru (62,50%), sedangkan yang termasuk kategori rendah adalah :1) keaktifan dalam kegiatan penelitian atau demonstrasi sederhana (60%), 2) kemampuan menyimpulkan informasi belajar (55%) dan kemampuan mengaplikasikan konsep dalam kehidupan sehari-hari (40%). Pada pertemuan II ini terjadi pengurangan penguasaan keterampilan proses siswa. Jika pada pertemuan I hanya terdapat satu indikator yang termasuk kategori sangat rendah maka pada pertemuan II terdapat dua indikator yang masuk dalam kategori sangat rendah, yaitu : 1) kemampuan menafsirkan informasi dari guru (20%) dan 2) kemampuan memprediksi suatu peristiwa berdasarkan informasi dari guru (12,5%). Pada pembahasan akan disampaikan diagnosa mengapa terjadi penurunan penguasaan keterampilan proses pada pertemuan II ini.
Tabel 4.3. Data penguasaan keterampilan siklus II pertemuan III
KBM INDIKATOR KETERAMPILAN PROSES Jumlah siswa
1 2 3 4 5 6 7 8
III 36 18 14 36 37 38 35 36 38
94,7% 47,4% 36,8% 94,7% 100,0% 97,4% 92,1% 94,7% 100,0%
Analisis Keterampilan Proses Pertemuan III :
Kegiatan belajar mengajar pada pertemuan ketiga ini merupakan kegiatan belajar yang paling optimal jika dibandingkan dengan dua pertemuan sebelumnya. Hal ini karena sebagian besar indikator keterampilan proses berhasil dikuasai siswa dan tampak dalam proses belajar mengajar. Pada pertemuan III ini kemampuan siswa mengamati proses belajar mengajar meningkat signifikan menjadi 94,7%. Pengamatan yang meningkat ini menyebabkan siswa mampu mengkomunikasikan informasi belajar yang diperolehnya dengan guru (94,7%) sehingga mereka memiliki keterlibatan yang sangat tinggi dalam merencanakan penelitian atau demonstrasi sebelum kegiatan dilakukan (94,7%). Dengan demikian sangat wajar jika siswa akhirnya sangat antusias dengan kegiatan penelitian atau demonstrasi sederhana (100%) dimana siswa diminta membuktikan adanya muatan listrik pada benda dengan menggunakan elektroskop. Siswa juga mampu mengaplikasikan konsep yang mereka peroleh dari kegiatan belajar dalam konteks kehidupan sehari-hari (92,1%). Akhirnya siswa mampu meningkatkan kemampuannya menyimpulkan informasi belajar yang telah dilaksanakan (97,4%).
Ada dua hal yang masih sulit untuk ditingkatkan maksimal pada siswa di kelas XA ini, yaitu kemampuan siswa menafsirkan informasi dari guru (47,4%) dan kemampuan siswa memprediksi suatu peristiwa berdasarkan informasi-informasi yan disampaikan oleh guru (3,8%). Analisis secara menyeluruh selama berlangsungnya penelitian diperoleh angka rata-rata penguasaan keterampilan proses seperti dalam rangkuman tabel berikut ini.
Tabel 4.4. Rangkuman Penguasaan Katerampilan Proses Siswa yang belajar menggunakan model think-pair share
KBM INDIKATOR KETERAMPILAN PROSES Jumlah siswa
1 2 3 4 5 6 7 8
I 35 12 8 34 32 30 14 28 40
87,50% 30% 20% 85% 80% 75% 35% 70% 100,0%
II 34 8 5 28 24 22 16 25 40
85% 20% 12,50% 70% 60% 55% 40% 62,50% 100,0%
III 36 18 14 36 37 38 35 36 38
94,7% 47,4% 36,8% 94,7% 100,0% 97,4% 92,1% 94,7% 100,0%
Rata-rata 35 13 9 33 31 30 22 30
89,10% 32,50% 23,10% 83,20% 80% 75,80% 55,70% 75,70%

Analisis Penguasaan Keterampilan Proses secara Menyeluruh :
Tabel 4 di atas menunjukkan rata-rata setiap indikator penguasaan keterampilan proses setelah dilaksanakan sebanyak dua siklus dengan tiga pertemuan pembelajaran. Indikator nomor 1, 4 tergolong sangat tinggi. Ini berarti kemampuan siswa mengamati proses belajar sangat tinggi (89,10%) dan keterlibatan dalam merencanakan penelitian atau demonstrasi sederhana juga sangat tinggi (83,20%). Kemudian indikator yang menduduki kategori tinggi adalah indikator nomor 5,6 dan 8. Hal ini berarti siswa memiliki keaktifan yang tinggi dalam melaksanakan penelitian atau demonstrasi sederhana (80%) dan begitu pula halnya kemampuan siswa menyimpulkan informasi belajar (75,80%), selain itu yang termasuk kategori tinggi adalah kemampuan siswa mengkomunikasikan informasi belajar dengan gurunya (75,70%).
Kemampuan siswa pada indikator mengaplikasikan konsep dalam kehidupan sehari-hari mengalami peningkatan hingga akhir siklus II dengan meningkat dibandingkan persentase penguasaan keteramplan proses awal. Pada awal siklus yakni di pertemuan I hanya mencapai 35 %, kemudian di pertemuan II di siklus yang sama meningkat menjadi 40% dan akhirnya pada pertemuan III di siklus II meningkat lagi menjadi 55,70% dengan kategori cukup tinggi. Namun demikian masih terdapat dua indikator yang sampai selesainya siklus II belum maksimal dan hanya masuk kategori rendah yaitu kemampuan siswa untuk menafsirkan informasi yang berasal dari guru (32,50%) dan kemampuan siswa memprediksi suatu peristiwa berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru (23,10%).


2. Hasil Belajar Siswa Kelas IXA pada Konsep Listrik Statis
Hasil belajar siswa pada penelitian ini diperoleh dari tes hasil belajar yang dilakukan setiap selesai satu tatap muka, sehingga data tes hasil belajar juga ada tiga buah yaitu dua data hasil belajar pada siklus I dan satu data hasil belajar pada siklus II. Rata-rata hasil belajar pada siklus pertama (I) akan dibandingkan dengan rata-rata hasil belajar yang dicapai pada siklus kedua. Jika terjadi peningkatan maka berarti hasil belajarnya maningkat, begitu pula sebaliknya. Rangkuman data hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5. Rangkuman Hasil Belajar Siswa Kelas IXA konsep Listrik Statis

NO PERTEMUAN RATA-RATA HASIL BELAJAR SIKLUS
I II
1 PERTAMA (I) 77,4 -
2 KEDUA (II) 73,6 -
3 KETIGA (III) - 79,5%
Lihat lampiran 3.
Analisis Hasil Belajar Siswa :
Hasil belajar siswa diperoleh melalui tes setelah selesai satu pertemuan atau tatap muka. Hasil belajar siswa pada petemuan pertama mencapai nilai 77,4. Secara klasikal nilai ini sebenarnya cukup tinggi dan sebenarnya pula telah berada di atas kriteria ketuntasan belajar kelas yang telah ditentukan mencapai nilai 70, sedangkan secara individu terdapat 2 siswa yang masih berada di bawah kriteria ketuntasan tersebut (lihat lampiran hasil belajar siswa). Kondisi kelas pada pertemuan pertama ini cukup kondusif dimana siswa terlihat cukup siap menerima pelajaran, konsentrasi mereka juga baik dan guru berhasil membawa siswa pada proses berpikir (think) dan kemudian membagi hasil pemikirannya tersebut pada teman semejanya (pair), setelah itu barulah mereka mendiskusikannya lagi dengan teman sekelasnya (share). Model yang digunakan pada pertemuan pertama ini adalah model 1  2 diskusi kelas dimana awalnya siswa diminta berpikir sendiri (1) kemudian setelah 5 menit mereka diminta mencocokkan dengan hasil pemikiran rekan semejanya sambil berpikir dan memilih jawaban mana yang akan mereka sepakati untuk disampaikan di diskusi kelas. Setelah 10 menit, mereka diajak oleh guru untuk berbagi informasi hasil pemikiran kelompok pasangannya (pair berdua) ke dalam diskusi kelas yang lebih besar.
Hasil belajar pada pertemuan kedua mengalami penurunan namun masih tetap berada di atas kriteria ketuntasan 70. Rata-rata nilai siswa pada pertemuan kedua ini mencapai 73,6 atau mengalami penurunan nilai sebesar 3,8. Ada 9 siswa yang nilainya di bawah kriteria ketuntasan minimal 70. Hal ini cukup mengejutkan dan memerlukan diagnosa lebih lanjut agar hasil belajarnya tetap dapat ditingkatkan. Pada awal pertemuan kedua ini siswa sebenarnya bersemangat untuk mengikuti belajar, namun terlihat mereka kelelahan karena sebelum pelajaran ini mereka mengikuti ujian mata pelajaran olahraga yang cukup berat. Selain itu posisi meja juga telah dirubah menjadi bentuk U dimana siswa akan saling berhadapan. Hal ini kelihatannya tidak disenangi oleh siswa di kelas IXA ini karena mereka ternyata tidak bisa konsentrasi disebabkan bertatapan muka dengan rekan lainnya. Kelas IXA ini adalah kelas unggulan dan kebiasaan siswa yang pintar memang kurang senang dihadapkan seperti itu. Namun demikian, pembelajaran tetap dilakukan dengan posisi meja seperti itu dengan tujuan siswa dapat berinteraksi lebih mudah dalam melakukan share kelas (diskusi kelas). Model yang digunakan pada pertemuan kedua ini adalah model 2  4  diskusi kelas. Model ini berubah dari model pertama dimana siswa tidak lagi melakukan proses think sendirian tetapi langsung berpasangan dengan rekan semejanya, setelah 5 menit barulah mereka berbagi dengan dua rekan lainnya dalam satu kelompok (menjadi berempat). Setelah 10 menit mereka mendiskusikan dan mensepakati jawabannya barulah guru membawa siswa ke dalam diskusi kelas yang lebih besar. Informasi yang diberikan siswa setelah selesai belajar menunjukkan mereka tertarik dengan perubahan model ini dan menyatakan bahwa sebenarnya kondisi kelas dan kondisi awal mereka sebelum belajar yang sebenarnya mengurangi konsentrasi mereka bukan disebabkan perubahan model, bahkan mereka menyatakan seandainya model tidak dirubah oleh guru dan tetap seperti pertemuan pertama dimana mereka diminta berpikir individu terlebih dahulu mungkin saja hasil belajar mereka akan lebih merosot dengan tajam.
Perkembangan hasil belajar yang cukup baik terjadi pada pertemuan ketiga ini dimana hasil belajar siswa mencapai 79,5 dan sudah tidak ada lagi siswa yang berada di bawah kriteria ketuntasan minimal. Artinya bahwa hasil belajar yang diperoleh tidak hanya meningkatkan rata-rata kelas namun juga meningkatkan daya serap siswa secara individual. Model yang digunakan dalam pertemuan ini adalah model 4  diskusi kelas. Pada pembelajaran model ini siswa diminta membentuk kelompok dengan beranggotakan 4 orang kemudian guru memberikan kasus, tugas dan eksperimen untuk dipikirkan bersama. Pasangan berpikir pada model ini bukan 2 orang lagi tetapi 4 orang langsung berdiskusi dan berpikir bersama dan dilanjutkan saling berbagi ide dan pemikiran. Setelah mereka memperoleh kesepakatan barulah guru mengajak seluruh kelompok untuk masuk pada proses share melalui diskusi kelas yang lebih besar.
Peningkatan hasil belajar tiap siklus dapat diperoleh dengan membandingkan rata-rata siklus I dengan siklus II. Siklus pertama memiliki dua pertemuan yang berarti memiliki dua nilai hasil belajar sedangkan siklus kedua hanya satu pertemuan saja. Rata-rata nilai siklus pertama adalah 75,5 (lihat lampiran 3) sedangkan rata-rata siklus kedua adalah 79,5. Rata-rata setiap individu sampai siklus II juga telah banyak yang berhasil melewati kriteria ketuntasan minimal kompetensi dasarnya yaitu 70, walaupu masih ada 4 dari 40 siswa (10%) yang belum melewati kriteria ketuntasan minmalnya (lihat lampiran 3) Dengan demikian nampak bahwa hasil belajar siswa dapat meningkat lebih baik jika mereka diajar menggunakan pendekatan keterampilan proses dengan model belajar think-pair share.
3. Data tentang Tanggapan Siswa Terhadap Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar
Siswa diminta menjawab empat pertanyaan melalui angket tertutup. Pertanyaan yang diberikan ini berhubungan dengan proses belajar mengajar yang telah mereka ikuti. Tanggapan siswa terhadap proses belajar pertemuan kedua I :
Respon siswa terhadap proses pembelajaran pertemuan pertama ini menunjukkan beberapa hal yang positif, yaitu: 1. pembelajaran yang dilaksanakan berjalan menarik, 2. banyak sswa yang mengerti dan menguasai materi pelajaran yang disampaikan, dan 3. lebih dari separoh siswa (52,50%) mengatakan tidak ada yang perlu diperbaiki dalam proses belajar mengajar pada pertemuan pertama tersebut. Perhatian siswa terhadap pelajaran belum maksimal dan masih tersebar merata karena hanya 22,50% yang menyatakan sangat perhatian dan 40,00% yang menyatakan perhatian serta terdapat 37,50% yang termasuk kategori cukup perhatian. Namun dengan kondisi perhatian yang demikian menyebar, siswa menyatakan tetap dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru (92,50%). Dengan demikain jika perhatian terhadap materi pelajaran meningkat pada kategori yang lebih tinggi maka sangat dimungkinkan penguasaan siswa lebih baik, dan jika penguasaan siswa baik diharapkan dapat pula meningkatkan hasil belajar siswa.
Tanggapan siswa terhadap proses belajar pertemuan kedua II :
Ketertarikan siswa terhadap pertemuan kedua ini menurun dibandingkan ketertarikan siswa pada pertemuan pertama yakni hanya mencapai 70%, begitu pula penguasaan materi pelajaran oleh siswa yang hanya mencapai 67,50% dibanding pertemuan pertemuan pertama 92,5%. Perhatian siswa hampir sama dengan kondisi di pertemuan pertama yang masih berkisar pada kategori sangat perhatian (25%), perhatian (45%) dan cukup perhatian (25%) dan kurang perhatian (5%), sedangkan mengenai perbaikan yang harus dilakukan dalam pembelajaran pertemuan kedua ini ternyata tidak banyak mengalami perubahan dan cenderung stabil. Kondisi pembelajaran di pertemuan kedua ini kelihatannya tidak berlangsung baik karena beberapa faktor yang mengganggu konsentrasi dan fokus dari siswa di dalam kelas.
Tanggapan Siswa terhadap Proses Pembelajaran Pertemuan III:
Pada pertemuan ketiga terjadi pergeseran tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran. Siswa yang menyatakan pembelajaran ini sangat menarik mengalami penurunan menjadi 65,80%, yang menyatakan menarik 31,60% dan terdapat 2,60% yang termasuk kategori cukup menarik. Secara umum ketertarikan siswa terhadap proses pembelajaran termasuk baik dan tidak ada yang menyatakan kurang.
Penguasaan materi pelajaran pada pertemuan III ini juga tetap berada dalam kondisi yang baik dengan 68,45% siswa menyatakan sangat menguasai materi pelajaran, 28,95% siswa menyatakan menguasai dan 2,60% yang menyatakan cukup menguasai. Tidak ada siswa yang menyatakan tidak menguasai materi pelajaran pada pertemuan ketiga ini. Selanjutnya, perhatian siswa juga ternyata mengalami perubahan yang lebih baik dimana 42,10% siswa menyatakan sangat memperhatikan pelajaran, padahal pada pertemuan pertama dan kedua yang menyatakan sangat perhatian tidak melebihi angka 25%. Begitu pula halnya dengan perbaikan yang harus dilakukan terhadap proses belajar juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pada pertemuan pertama dan kedua hanya 52,50% yang menyatakan pembelajaran tidak perlu diperbaiki, sedangkan pada pertemuan ketiga siswa yang menyatakan proses pembelajaran tidak perlu diperbaiki mencapai 71,05%. Hal ini karena sudah dianggap baik oleh siswa. Dengan demikian berdasarkan pendapat siswa pertemuan ketiga ini secara umum berlangsung secara baik.
4. Kondisi Kelas berdasarkan Catatan Lesson Study yang Dilakukan oleh Observer
Lesson study dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan PTK di dalam kelas. Data yang diperoleh dari catatan lesson study berbeda dengan data yang diperoleh pada PTK, namun diharapkan data lesson study ini dapat membantu memperkuat analisis PTK terutama tentang catatan tentang kondisi dan cara belajar siswa. Data PTK akan digunakan untuk menganalisis keterlaksanaan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru sedangkan data lesson study digunakan untuk menganalisis cara belajar siswa dan kondisi kelas pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung.
Data lesson study dideskripsikan berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan setiap selesai pembelajaran. Ada tiga refleksi yang dilakukan dan diperoleh data kualitatif sebagai berikut:
a. Data kualitatif pertemuan I :
Pada jam 08.00 pak Amat melanjutkan lesson study yang kedua di kelas IXA. Kelas ini merupakan kelas unggulan sehingga perlu ekstra perhatian terhadap kemampuan mereka. Pak Amat memulai kelas dengan mengucapkan salam kepada seluruh siswa dan dijawab siswa dengan penuh semangat. Kemudian sebelum masuk ke materi yang akan diajarkan pak Amat tidak lupa berkenalan terlebih dahulu dengan satu persatu siswa agar lebih mudah dalam mengobservasi kelasnya karena pak Amat berpikir bahwa dengan mengenal siswa akan mudah mengingat keterlaksanaan proses belajar mengajar yang mana data ini nantinya juga akan digunakan yaitu untuk data penelitian tindakan kelas.
Setelah berkenalan pak Amat mulai memberikan petunjuk bahwa mulai hari ini dan seterusnya pak Amat akan mengajar dengan mendekatkan siswa pada keterampilan proses melalui model pembelajaran think pair share. Tujuannya adalah agar hasil belajar siswa dapat ditingkatkan. Kemudian pak Amat menyampaikan konsep awal tentang listrik statis melalui gejala-gejala yang terjadi di sekitar siswa seperti menanyakan apakah siswa pernah melihat listrik ? ada siswa yang menjawab ya, yaitu pada saat melihat petir. Pak Amat meluruskan bahwa petir yang dilihat oleh siswa itu bukanlah lstriknya tetapi cahaya yang terbentuk akibat adanya perpindahan muatan pada benda. Contoh yang mudah digambarkan pak Amat adalah pada saat siswa diminta menyalakan lampu di dalam ruang apakah yang mereka lihat ? listrik atau cahaya ? spontan siswa paham dan menjawab yang terlihat adalah cahaya. Pak Amat membawa siswa melakukan think tentang apa penyebab munculnya cahaya tersebut.
Materi pelajaran dilanjutkan dengan pak amat mengambil dua buah plastik transparan kemudian menggosokkannya, selanjutnya meminta seorang siswa mendekatkannya dengan rambut teman lainnya. Ternyata siswa tersebut dapat memahami bahwa ada sesuatu yang menarik rambut tersebut. Nah dari situlah pak Amat masuk bahwa jika kita bicara listrik maka kita bicara adanya gaya yang terjadi dan juga bicara tentang adanya sesuatu yang berpindah jika ada suatu gaya yang berpindah. Konsep dilanjutkan pada suatu kasus dan ini harus dipecahkan oleh siswa. Mereka diminta oleh pak Amat mengamati satu benda dihadapan mereka dan diminta membayangkan bagaimana jika benda tersebut dibelah-belah secara terus menerus.
Siswa memahami bahwa suatu benda yang dibelah terus menerus suatu saat tidak bisa dibelah atau dibagi lagi. Pak Amat kemudian menjelaskan bahwa itulah yan dipikirkan oleh Demokritos ribuan tahun yang lalu. Walaupun tanpa melakukan suatu percobaan tetapi dia dapat menjelaskan tentang bagian tersebut yang disebutnya sebagai”atom”. Dari sinilah mulai dibahas bagian-bagian atom dan fungsinya serta bagaimana cara menggambarkannya. Siswa terlihat mudah memahaminya.
Setelah siswa paham konsep atom kemudian dilanjutkan oleh pak Amat pada konsep konduktor dan isolator. Di sini pak Amat meminta beberapa siswa mencoba alat dan bahan yang sudah disiapkan. Bahan dan alat ini mudah mereka peroleh di rumah sehingga diharapkan mereka dapat mencobanya sendiri di rumah. Siswa dimnta mengidentifikasi mana yang termasuk konduktor dan isolator. Dengan mudah mereka mampu menunjukkannya. Selanjutnya siswa diminta melakukan think pair share tentang mengapa ada benda yang termasuk kondukstor dan isolator, setelah itu siswa mendiskusikannya di kelas dengan dipandu oleh pak Amat. Diskusi tersebut berlangsung seru dan lancar sehingga tanpa terasa waktu hampir habis. Kemudian pak Amat memberikan beberapa soal untuk dikerjakan oleh siswa sebagai bahan evaluasi pemahaman siswa terhadap konsep yang telah diajarkan. Setelah dikumpulkan dan waktu telah selesai maka siswa diminta untuk kembali ke kelasnya kembali.
Refleksi Pertemuan Pertama :
Refleksi hari sama dengan hari rabu kemarin tetap dilakukan oleh tiga orang guru PKM dan seorang guru mitra. Menurut Pak sumarta pembelajaran pak Amat sudah baik dan sesuai dengan rencana pembelajaran yang dirancang dan cara pak Amat membawa siswa dari awal membuat alur materi pelajaran ini menjadi lebih mudah dipahami siswa, dan memang terlihat bahwa siswa mudah memahaminya padahal materi ini termasuk materi yang memerlukan imajinasi yang tinggi untuk memahaminya. Selanjutnya guru mitra juga sependapat bahwa siswa sudah belajar dan termotivasi oleh penampilan pak Amat yang interaktif.
Pak Amat sendiri memberikan komentar kepada pembelajarannya bahwa secara umum siswa belajar dan terinspirasi untuk berani menyelesikan masalah karena pak Amat selalu memeberikan tantangan, selebihnya perlu dikendalikan siswa yang berada dibagian belakang. Mobilitas guru juga perlu ditingkatkan sehingga tidak terkesan hanya berada di daerah depan kelas belaka, sehingga berakibat ada beberapa siswa yang awalnya aktif menjadi kurang fokus.
b. Data Kualitatif Pertemuan II :
Pembelajaran pak Amat dibuka dengan menanyakan keadaan siswa menggunakan bahasa inggris. Kelihatannya siswa kelas IXA kurang semangat. Ternyata setelah ditanya mereka menjawan bahwa mereka barusan selesai oleh raga. Pak Amat mempersiapkan sepasang mistar plastik dan sepasang kaca pada tiap kelompok dan juga mempersiapkan kain wol dan sutera, namun karena sulitnya mencarinya akhirnya diputuskan bahan penggosoknya digunakan kertas tisu. Kegiatan praktik ini diarahkan oleh pak Amat agar siswa memahami dan menyelidiki gaya elektrostatis yang terjadi pada benda. Siswa diminta menggantung salah satu mistar plastik tepat dibagian tengahnya, kemudian seorang siswa menggantungnya, yang lain menggosok ujung plastik yang tergantung dan satu orang lain menggosok ujung mistar yang bebas. Setelah beberapa detik siswa diminta untuk melihat apa yang terjadi. Kegiatan diulangi menggunakan kaca, dan dilanjutkan dengan menggabungkan mistar dan kaca. Ternyata hal ini membuat siswa lebih mudah memahami konsep di buku yang telah mereka baca sebelumnya.
Setelah selesai mempraktikkannya pak Amat meminta siswa untuk mendiskusikannya di kelas dan mereka juga diminta menjawab dan memberikan prediksinya tentang kejadian tersebut. Akhirnya siswa dapat mengerti bahwa benda yang muatannya sejenis jika didekatkan akan menimbulkan gaya elektrostatis yang tolak menolak, sedangkan jika muatannya berbeda maka gaya elektrostatis yang terjadi adalah tarik menarik.
Selanjutnya pak Amat membawa siswa untuk menentukan nilai suatu gaya elektrostatis dengan mencari hubungan antara faktor penyebab besarnya gaya elektrostatis. Ternyata siswa memahami bahwa bila suatu benda muatannya besar mengalami gaya dengan benda lain yang juga bermuatan besar maka dapat diprediksikan gaya juga akan semakin besar. Selanjutnya dihubungkan bahwa jika jarak antara muatan tersebut berdekatan maka gaya elektrostatisnya juga semakin besar. Setelah itu barulah pak Amat menjelaskan dan memformulasikan konsep gaya elektrostatis tersebut. Setelah terbentuk pola konsepnya kemudian pak Amat menuliskannya dalam bentuk simbol sehingga menjadi hukum coulomb. Kelihatannya dengan cara tersebut siswanya banyak yang mengalami kemudahan memahami gaya elektrostatis suatu benda .
Setelah rumusnya diperoleh dan siswa memahami maknanya kemudian pak Amat memberikan suatu contoh soal untuk dikerjakan oleh siswa. Ada 4 orang siswa yang berlomba menyelesaikannya, namun tak satupun yang jawabannya benar. Kemudian pak Amat memandu untuk menghitungnya secara bersama-sama. Ternyata siswa kurang teliti dalam menggunakan satuan dalam hitungan.
Setelah waktunya hampir selesai pak Amat membrikan soal sebagai umpan balik terhadap penguasaan konsep siswa yang telah belajar pada hari ini. Waktu yang disediakan 15 menit dan siswa mesti mengerjakan 2 soal uraian dan hitungan. Setelah selesai jawabannya dikumpulkan dan pak Amat menutup pertemuan pada hari ini.
Refleksi Pertemuan Kedua (II) :
Pada pertemuan kedua ini diperoleh beberapa hal yang kelihatannya mengganggu proses pembelajaran dan mengakibatkan kurang optimalnya pencapaian tujuan pembelajaran.Beberapa hal ditemukan tersebut adalah :
1. siswa masuk kelas dalam keadaan kelelahan karena menyelesaikan ujian olahraga yang menyita tenaga dan waktu mereka. Pembelajaran terpaksa diundur oleh guru selama 15 menit dan ini menyebabkan keterlaksanaan RPP tidak sesuai lagi dengan alokasi waktu yang telah disiapkan, namun hal ini diantisipasi oleh guru dengan merubah strategi think-pair share yang dilakukan yaitu dengan langsung menggunakan model 24diskusi kelas
2. posisi meja siswa yang sebelumnya menghadap ke depan dirubah menjadi berhadapan sehingga antara siswa yang satu saling tatap dengan teman lainnya. Akibatnya konsentrasi awal siswa mengalami perubahan, namun setelah diberi tugas demonstrasi siswa kembali aktif melakukan kegiatan

c.Data Kualitatif Pertemuan Ketiga (III):
Pak Amat membuka kelas dengan mengucapkan salam dan dijawab oleh siswa dengan serentak dan semangat. Kelihatan kesiapan siswa sangat baik pada pertemuan ini. Kemudian pak Amat memberi petunjuk adanya perubahan model think-pair share menjadi model 4diskusi kelas. Ada beberapa siswa yang bertanya caranya dan pak Amat menjelaskannya. Kemudian pak Amat juga mewanti-wanti siswa agar mengingat kembali indikator keterampilan proses yang harus mereka kuasai. Selanjutnya pak Amat menyampaikan tema pertemuan hari ini yaitu tentang menentukan muatan listrik suatu benda dengan menggnakan elektroskop.
Setelah elektroskop dibagi pada tiap kelompok dan lembar kerja serta lembar diskusi diserahkan siswa mulai bekerja selama 3 menit. Pada pembelajaran ini hampir semua siswa terlihat aktif bekerja walaupun pada awalnya ada beberapa siswa yang dipantau oleh observer yang masih main-main, namun setelah diberikan rambu-rambu agar siswa bersiap maka siswapun langsung semangat kembali. Ada siswa yang berhasil mengembangkan daun elektroskop dan artinya percobaan mereka berhasil. Dari 10 kelompok yang ada terdapat 7 kelompok yang berhasil melakukan. Hal ini karena siswa membaca dengan baik petunjuk kerja yang telah diberikan. Dalam percobaan ini siswa diberikan kasus untuk dilakukan think-pair share, kemudian setelah selesai percobaan dan thin-pair share siswa dipandu untuk melakukan diskusi kelas.
Hampir semua siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran hari ini baik percobaannya, pendekatan keterampilan prosesnya maupun melakukan think-pair share. Selanjutnya setelah diskusi selesai pak Amat memberikan siswa kasus untuk dijawab oleh masing-masing siswa tanpa dibantu oleh teman-temannya. Soal ini diberikan sebagai salah satu alat untuk mengukur keberhasilan siswa memahami konsep atau materi pelajaran yang diberikan. Setelah selesai pak Amat menutup pelajaran hari ini dan mengucapkan terima kasih atas keaktifan siswa selama belajar.

Refleksi Pertemuan Ketiga (III) :
Ada beberapa hasil refleksi yang diperoleh pada pertemuan ketiga ini, yaitu:
1. guru masih kekurangan waktu sehingga tes dengan materi yang lebih banyak belum bisa dilakukan, namun dengan konsep yang terbatas telah dilakukan setelah percobaan selesai.
2. pembelajaran hari ini bermutu karena guru model melaksanakannya secara serius, dan menyesuaikan dengan dengan keadaan siswa serta cukup interaktif terutama dalam memancing siswa untuk mau berdiskusi dan mengemukakan pendapatnya di dalam kelas.
3. masih terdapat beberapa siswa yang duduk di belakang dan di depan (cewek) yang perhatiannya kurang stabil. Jika guru menyammpaikan informasi yang menantang siswa yang cewek menjadi bersemangat kembali, sedangkan kelompok siswa laki-laki yang di belakang masih mengalami stagnan dalam memperhatikan pelajaran.

B. Pembahasan
1. Pembahasan Indikator Keterampilan Proses
Pembahasan hasil penelitian diarahkan pada bagaimana sebenar pendekatan keterampilan proses dengan menggunakan model think-pair share dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pembahasan dilakukan berdasarkan indikator keterampilan proses yang berhasil diobservasi pada siklus-siklus yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini. Secara umum indikator nomor 1 yaitu keterampilan siswa mengamati proses belajar memperoleh rata-rata sebesar 89,10%. Rata-rata indikator ini tergolong sangat tinggi dan menunjukkan bahwa selama proses belajar siswa sangat konsentrasi dan menumpukan perhatian sepenuhnya pada proses belajar yang dilaksanakan oleh guru. Konsentrasi atau keterampilan mengamati proses belajar di kelas IXA ini sangat tinggi disebabkan: 1) latar belakang siswa yang memang memiliki kemampuan lebih baik dibanding kelas lainnya, 2) siswa di kelas ini telah terbiasa dengan kegiatan belajar mandiri, 3) guru berhasil menarik minat siswa karena menyampaikan materi pelajaran dengan santai namun menjurus pada penguasaan kompetensi secara langsung atau tidak berbelit-belit, 4) keruntunan konsep yang diajarkan guru menyebabkan siswa mudah untuk mengerti materi pelajaran yang diajarkan. Faktor yang masih menghambat pengoptimalan keterampilan mengamati proses belajar ini antara lain : 1) masih adanya siswa yang suka bermain walaupun sudah diperingatkan dan diarahkan untuk fokus pada pembelajaran, 2) masih kurangnya sarana atau media yang dapat memudahkan penguasaan konsep siswa, 3) kondisi ruang belajar yang kurang memiliki akses siswa untuk bergerak secara bebas mengamati proses belajar yang dilakukan oleh guru.
Indikator keterampilan proses yang kedua adalah kemampuan siswa menafsirkan informasi dari guru. Keterampilan ini mengharapkan siswa dapat menerima informasi dari guru secara langsung kemudian berdasarkan informasi tersebut siswa dapat menentukan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pada penelitian ini secara umum diperoleh rata-rata penguasaan keterampilan menafsirkan informasi dari guru sebesar 32,50%. Artinya terdapat 32% siswa yang mampu menafsirkan informasi dari guru. Hasil yang diperoleh ini belum maksimal karena: 1) masih banyak siswa yang kurang memperhatikan detil informasi yang disampaikan oleh guru, 2) banyak siswa yang menganggap bahwa keberhasilan belajar mereka adalah jika mereka dapat menjawab soal ulangan dari guru, sedangkan jika mereka berhasil menafsirkan informasi guru mereka tetap tidak memperoleh nilai tambah, 3) kurangnya siswa membaca buku yang membantu memperkaya informasi untuk dipikirkan dan 4) kurangnya motivasi siswa untuk selalu memikirkan setiap informasi yang diperoleh dari siapa saja tidak hanya dari guru. Rata-rata yang mencapai 32,50% tersebut walaupun masih rendah namun dapat menjadi cikal bakal untuk meningkatkan keterampilan siswa menafsirkan informasi belajar dari guru. Faktor yang mendukung pencapaian rata-rata tersebut adalah: 1) guru selalu mengajak siswa untuk mengkaji dan memikirkan informasi belajar melalui kegiatan think-pair share, 2) masih terdapat siswa yang punya keinginan untuk memahami informasi yang disampaikan guru, 3) konsep berpikir pada konsep listrik statis dibuat sangat kontekstual sehingga ada siswa yang dengan mudah dapat menafsirkan dan menginterpretasikannya.
Keterkaitan antara indikator 2 dengan indikator 3 yaitu kemampuan siswa memprediksi suatu peristiwa seharusnya cukup kuat, sehingga diharapkan jika siswa menguasai indikator 2 yaitu mampu menafsirkan informasi maka akan mampu meningkatkan pula kemampuannya memprediksi suatu peristiwa. Namun hal tersebut tidak terjadi karena pencapaian indikator 3 ini hanya mencapai 23,10%. Dengan demikian semakin jelas hubungannya bahwa semakin sedikit siswa yang mampu meningkatkan kemampuan menafsirkan informasi dari guru akan berakibat pada kurangnya kemampuan siswa memprediksi kemungkinan peristiwa yang akan terjadi.
Kemudian kita dapat menganalisa bahwa indikator 4 dan 5 juga sangat terkait erat, dimana jika siswa banyak terlibat dalam merencanakan penelitian sederhana yang diperintahkan oleh guru maka akan semakin tinggi pula keaktifan siswa tersebut melaksanakan kegiatan penelitian. Indikator 4 tentang keterlibatan siswa dalam melakukan perencanaan peneitian atau demonstrasi sederhana memperoleh angka rata-rata mencapai 83,20%. Nilai indikator 4 menunjukkan bahwa siswa yang aktif merencanakan penelitian sederhana sangat tinggi, sudah tentu hal ini akan mempengaruhi keaktifan siswa tersebut mengerjakan penelitian sederhananya (indikator 5). Dalam penelitian ini, keaktifan siswa dalam melakukan penelitian atau demonstrasi sederhana (indikator 5) juga sangat tinggi mencapai 80%.
Kemampuan siswa untuk menyimpulkan informasi belajar (indikator 6) dan kemampuan mengkomunikasi informasi belajar yang diperoleh dengan gurunya juga memperoleh rata-rata cukup tinggi, yaitu indikator 6 sebesar 75,80% dan indikator 8 mencapai 75,70%. Hal ini menunjukkan bawa pencapaian kemampuan siswa menyimpulkan informasi juga diikuti oleh tingginya kemampuan siswa mengkomunikasikan informasi tersebut. Faktor yang mendukung pencapaian kemampuan ini adalah: 1) siswa rajin mereviu buku-buku yang mereka miliki, 2) guru sering memberi tugas untuk memikirkan informasi secara langsung dan simultan, 3) siswa selalu dipancing oleh guru untuk mau menyampaikan informasinya kepada guru, dan hal ini memudahkan guru menentukan jenis komunikasi yang akan mereka gunakan.
Indikator nomor 7 tentang kemampuan siswa mengaplikasikan konsep belajar dalam kehidupan sehari-hari juga belum maksimal karena masih berada pada kategori yang cukup (55,70%). Siswa mengalami kesulitan mengaplikasi konsep listrik statis ini karena :1) konsep ini masih banyak sisi abstraknya sehingga siswa belum mampu masuk kepada pola pemikiran tersebut, 2) siswa belum terbiasa memikirkan masalah-masalah yang berada di sekitarnya. Faktor yang membantu mendorong siswa untuk memiliki kemampuan tersebut adalah : 1) adanya beberapa informasi bertingkat yang disampaikan kepada siswa secara gamblang, 2) adanya media dan sumber belajar yang kontekstual dan mampu memancing siswa untuk memikirkan aplikasi lainnya.
2. Pembahasan Hasil Belajar yang Dicapai oleh Siswa
Hasil belajar siswa setiap siklus mengalami peningkatan, yaitu rata-rata 75,5 pada siklus pertama (I) menjadi rata-rata 79,5 pada siklus kedua (II). Hal ini menunjukkan bahwa ternyata bukan hanya penguasaan indikator keterampilan proses saja yang dikuasai dengan baik namun hasil belajarnya juga meningkat. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya peningkatan hasil belajar siswa, yaitu: 1) adanya keajegan minat siswa dalam memperhatikan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di kelas, 2) adanya penyesuaian model think-pair share yang digunakan pada setiap pertemuan, 3) adanya kegiatan percobaan atau demonstrasi sederhana yang rutin dilaksanakan dalam setiap pertemuan, 4) kerjasama siswa dalam setiap kegiatan membantu mereka memahami substansi pelajaran, 5) siswa memiliki keberanian menjawab dan bertanya yang sangat baik sehingga suasana belajar menjadi kondusif dan informasi yang diberikan akibatnya munculnya pertanyaan diskusi membantu siswa lainnya memahami konsep yang sedang dibahas, dan 6) guru mampu mengakomodir dan menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di dalam kelas dan konsep diajarkan secara bertahap sesuai dengan pola berpikir siswa.
Pada siklus pertama (I) terutama di pertemuan kedua (II) sebenarnya terjadi penurunan hasil belajar siswa dari 77,4 di pertemuan I menjadi 73,6 di pertemuan II. Hal ini sudah dapat diprediksi oleh guru sebelumnya dan kondisi penurunan itu sangat terasa sekali bukan hanya hasil belajarnya namun juga proses pembelajaan yang terkesan siswa menjadi bingung. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan hasil belajar tersebut, yaitu : 1) konsentrasi belajar siswa terganggu karena kondisi fisik yang lelah setelah mengikuti ujian olahraga pada pelajaran sebelumnya, 2) pengaturaan meja belajar yang mengalami perubahan dari duduk menghadap ke depan menjadi duduk berhadapan. Pada awalnya siswa merasa canggung dengan pola tempat duduk sepert ini, namun setelah dilakukan kegiatan yang menyenangkan persepsi siswa menjadi berubah, 3) kurangnya waktu pembelajaran yang tersita karena siswa harus melakukan moving dari satu kelas ke kelas lainnya.
Pembelajaran yang dirasakan sangat baik terjadi pada pertemuan ketiga (III) yaitu pertemuan di siklus kedua. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti : 1) pembagian kelompok think-pair share menjadi lebih besar, kelihatannya siswa senang jika dalam proses berpikir (think) langsung berkelompok dengan temannya, 2) ketersediaan alat elektroskop yang mencukupi untuk setiap kelompok dan kegiatan percobaan berhasil mereka lakukan, 3) guru mampu mengajak siswa memposisikan informasi belajar sesuai urutan dan manfaatnya. Dengan demikian, optimalisasi pendekatan keterampilan proses dengan memanfaatkan model belajar think-pair share nampaknya dapat meningkatkan kualitas pembelajaan siswa yang akhirnya mampu meningkatkan hasil belajar secara menyeluruh.



















BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian terdiri dari tiga bagian, yaitu :
1. Aplikasi model belajar think-pair share yang dimodifikasi dengan tiga model ternyata dapat meningkatkan penguasaan keterampilan siswa. Ada 2 indikator keterampilan proses yang berkembang sangat baik yakni :a) keterampilan siswa mengamati proses pembelajaran (89,10%) dan keterlibatan siswa dalam merencanakan percobaan atau demosntrasi sederhana (83,20%), serta ada 3 indikator yang termasuk kategori baik yaitu : a) keaktifan siswa dalam melaksanakan kegiatan penelitian ata percobaan sederhana (80%), b) keterampilan menyimpulkan informasi belajar (75,80%) dan c) keterampilan mengkomunikasikan informasi belajar dengan guru (75,70%) kemudian ada satu indikator yang termasuk kategori cukup baik yaitu keterampilan siswa mengaplikasikan konsep dalam kehidupansehari-hari (55,70%). Selanjutnya ada 2 indikator yang belum maksimal dan termasuk kategori kurang, yaitu : a) kemampuan menafsirkan informasi belajar yang disampaikan oleh guru (32,50%) dan kemampuan memprediksi suatu peristiwa berdasarkan informasi yang disampaikan oleh guru (23,10%). Harapan peneliti adalah bahwa di masa yang akan datang ada penelitian yang diarahkan pada kedua indikator keterampilan proses yang belum maksimal tersebut.
2. Aplikasi model belajar think-pair share yang dimodifikasi dengan tiga model ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar yang dicapai oleh siswa dari siklus pertama ke siklus kedua mengalami peningkatan yaitu dari rata-rata 75,5 pada siklus I menjadi 79,5 pada siklus 2. Pada siklus pertama (I) sebenarnya rata-rata hasil belajar siswa mengalami penurunan yaitu dari 77,4 pada pertemuan I menjadi 73,6 pada pertemuan kedua, namun pada siklus kedua (II) hasil belajar tersebut behasil diperbaiki menjadi 79,5. Beberapa hal yang menyebabkan menurunnya hasil belajar siswa pada pertemuan kedua siklus I adalah karena: a) konsentrasi belajar siswa terganggu karena kondisi fisik yang lelah setelah mengikuti ujian olahraga pada pelajaran sebelumnya, b) pengaturaan meja belajar yang mengalami perubahan dari duduk menghadap ke depan menjadi duduk berhadapan. Pada awalnya siswa merasa canggung dengan pola tempat duduk sepert ini, namun setelah dilakukan kegiatan yang menyenangkan persepsi siswa menjadi berubah, c) kurangnya waktu pembelajaran yang tersita karena siswa harus melakukan moving dari satu kelas ke kelas lainnya.
3. Faktor-faktor yang menunjang pelaksanaan model ”think-pair share” dalam meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar siswa adalah : a). latar belakang siswa yang memang memiliki kemampuan lebih baik dibanding kelas lainnya, b) siswa di kelas ini telah terbiasa dengan kegiatan belajar mandiri, c) guru mampu menarik minat siswa karena menyampaikan materi pelajaran dengan santai namun menjurus pada penguasaan kompetensi secara langsung atau tidak berbelit-belit, d) keruntunan konsep yang diajarkan guru menyebabkan siswa mudah untuk mengerti materi pelajaran yang diajarkan.
4. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan model ”think-pair share” dalam meningkatkan keterampilan proses dan hasil belajar siswa adalah : a) masih adanya siswa yang suka bermain walaupun sudah diperingatkan dan diarahkan untuk fokus pada pembelajaran, b) masih kurangnya sarana atau media yang dapat memudahkan penguasaan konsep siswa, c) kondisi ruang belajar yang kurang memiliki akses siswa untuk bergerak secara bebas mengamati proses belajar yang dilakukan oleh guru d) waktu pembelajaran yang banyak tersita karena adanya perpindahan siswa dari suatu ruang ke ruang belajar lainnya, e) kondisi fisik siswa yang mengalami kelelahan padahal untuk melakukan think-pair dibutuhkan tenaga yang lebih banyak.
B. Saran-Saran
Ada dua saran yang disampaikan dalam penelitian ini, yaitu :
1. diharapkaan sebelum guru melakukan aplikasi model think-pair share dapat melakukan observasi awal tentang kemampuan siswa yang akan menggunakan pendekatan ini. Hal ini karena pendekatan keterampilan proses menggunakan model think-pair share membutuhkan siswa dengan latar belakang yang baik. Untuk siswa yang berlatar belakang kurang sebaiknya mencoba dulu model think-pair share yang sesuai.
2. media dan sumber belajar serta sumber informasi lainnya sebaiknya tersedia cukup agar siswa dapat membacanya sebelum proses belajar mengajar berlangsung, karena tanpa didukung oleh informasi awal yang banyak siswa akan kesulitan untuk melakukan think, akibatnya mereka sulit untuk berpasangan dan berbagi.





DAFTAR PUSTAKA
Andi Rasdiyanah, 1996, Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Madrasah Tsanawiyah, Departemen Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Anonim, Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Kurikulum SLTP 1994 Edisi 1999, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Darmodjo Hendro dan Jenny R.E. Kaligis, 1992, Pendidikan IPA I, Depdikbud, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan, Jakarta
______, 1992, Pendidikan IPA II, Depdikbud, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan, Jakarta
Druxes Herbert, dkk alih bahasa Soeparmo, 1996, Kompendium Dikdaktik Fisika, CV Remadja Karya, Bandung.
Foster Bob, 2000, Seribu Pena Fisika SLTP Kelas 3, Penerbit Erlangga, Jakarta
Hallliday dan Resnick, 1977, Fisika, Erlangga, Surabaya
Idell Antony dan Haryono, Rudy, 2000, Pintar Fisika SMP, Gitamedia Press, Surabaya
Iskaandar Sri. M dan Eddy M. Hidayat, 1997, Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, bagian Proyek Pegembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jakarta
Kanginan Martin, 2000, Fisika SLTP 3, Penerbit Erlangga, Jakarta
Karttono Kartini, 1980, Pengantar Metodologi Research, Alumni, Bandung
Muhaamad Ali, 1982, Penelitian Kependidikan Prosedur & Strategi, Angkasa, Bandung
Singarimbun Masri dan Sofyan Effendi, 1995, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Yogyakarta.
Subagio Lambang, 2002, Penyusuan Modul/Lembar Kegiatan Siswa (LKS) atau Petunjuk Praktikum IPA, Makalah disajikan dalam Diskusi Pengelolaan Laboratorium IPA SLTP bagi Guru-guru
http://www.geocities.com/guruvalah/penelitian2b.htmldi Kalimantan Timur, Oktober 2002.




























LAMPIRAN-LAMPIRAN